TEMPO.CO, Jakarta -Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memberikan catatan ihwal rencana pemerintah memberikan insentif untuk mempercepat penggunaan kendaraan listrik. Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menilai upaya tersebut tidak sepenuhnya solutif untuk mengatasi permasalahan lingkungan melalui penggunaan energi bersih.
Pemberian insentif, kata Uli, akan memperbesar skala pembelian dan pemakaian pribadi. “Dari sisi lingkungan, itu akan berdampak pada pembesaran ekstraksi bahan baku untuk itu. Misalnya untuk nicel yang digunakan sebagai salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik,” kata Uli ketika ditemui Tempo di Kantor Walhi Nasional, Jakarta, Rabu, 4 Januari 2023.
Uli berujar, dalam jangka panjang, hal tersebut bisa memperbanyak pembongkaran hutan-hutan maupun wilayah rakyat untuk menjamin keberlangsungan ekstraksi nikel melalui aktivitas pertambangan. Hal ini seiring dengan besarnya tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan.
“Jadi logika dari konsumsi yang tinggi, apalagi dengan tambahan insentif, pasti meninggikan konsumsi dan akan berkorelasi dengan pemebesaran ekstraksi bahan bakunya,” kata dia.
Adapun menurut Uli, 80 persen nikel Indonesia berada di kawasan hutan. Ketika ekstraksi nikel membesar, maka bisa berdampak pada kerusakan lingkungan hingga bencana ekologis. Termasuk pada perampasan ruang hidup bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal, sehingga konflik bisa bertambah.
Konsep energi bersih atau energi ramah lingkungan, Uli melanjutkan, tidak tercapai jika logika yang digunakan hanyalah mengganti, bukan mengurangi konsumsi. Sebab di balik kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan, ada aktivitas pertambangan nikel untuk produksi baterai. Dari segi pengisian daya melalui sistem charging pun, Indonesia masih menggunakan batu bara di pembangkit listriknya.
“Tidak seramah itu terhadap lingkungan jika hanya mengganti, bukan mengurangi,” kata dia.
Recent Comments