Potret Pendidikan bagi Anak di Indonesia


DUNIA pendidikan dikejutkan dengan berita duka. Siswa SD di Kabupaten Tasikmalaya meninggal dunia akibat perundungan. Sebelumnya, anak tersebut dipaksa melakukan perbuatan keji oleh teman-teman sebayanya, yakni menyetubuhi kucing sambil direkam menggunakan gawai. Rekaman videonya disebar di dunia maya. Akibat perundungan itu, anak mengalami depresi berat, sakit, dan meninggal dunia.

Ironisnya, peristiwa ini terjadi menjelang peringatan Hari Anak Nasional, yang diperingati setiap 23 Juli 2022 lalu. Pendidikan karakter yang sejatinya menjadi nilai sentral di aras moral telah gagal memandu sikap dan perilaku siswa. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi pemangku kepentingan pendidikan. Apalagi, Kemendikbud- Ristek telah melaksanakan asesmen nasional, yang salah satu instrumennya ialah terkait survei lingkungan belajar.

Berdasarkan Hasil Asesmen Nasional Tahun 2021, dalam survei lingkungan belajar menunjukkan angka kecenderungan perundungan dan kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan masih cenderung tinggi. KPAI melansir data dari 2011 sampai 2019 terjadi peningkatan kasus perundungan di lingkungan pendidikan dan media sosial yang mencapai 2.473 laporan. Bahkan Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan kasus perundungan sepanjang 2018, RI termasuk 5 negara yang dominan terjadi perundungan pada siswa.

Fenomena perundungan khusus anak layaknya fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan bisa jadi jauh lebih sedikit daripada kasus yang sesungguhnya. Tidak berlebihan jika Kemendikbud-Ristek menyebut perundungan adalah salah satu dari tiga dosa besar pendidikan.

 

 

Problematika pendidikan bagi anak

Konsideran UU RI No 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa harus meyakini jika hilangnya nyawa satu anak pun sudah terlalu banyak. Bahkan hilangnya nyawa satu anak sebagai generasi penerus bangsa ini harus dimaknai hilangnya satu potensi dan kesempatan emas untuk membangun Indonesia di masa depan.

Kasus perundungan dan kekerasan peserta didik di lingkungan pendidikan ini tentu hanya sebagian dari problematika pendidikan bagi anak di Indonesia. Banyak persoalan lainnya, yang harus diberikan perhatian khusus dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak. Misalnya, problematika akses pendidikan bagi anak dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, dan anak di wilayah 3T belum sepenuhnya terjangkau.

Begitu pun dengan kondisi pendidikan belum sepenuhnya berparadigma inklusif bagi seluruh anak, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus.

Padahal jika merujuk Pasal 9 UU No 35/ 2014 disebutkan, bahwa ayat (1) setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Kemudian Ayat (1a), bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual, dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Selanjutnya, ayat (2) bahwa, selain mendapatkan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Meski hak-hak pendidikan anak telah dijamin oleh berbagai peraturan perundangundangan, implementasinya masih menyisakan berbagai persoalan. Berdasarkan data dari BPS RI (2021) menunjukkan bahwa angka anak tidak bersekolah di Indonesia tahun 2021 pada kelompok umur 7-12 tahun sebesar 0,65, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 6,77, dan pada kelompok umur 16-18 tahun sebesar 21,47.

Kondisi ini tentunya disebabkan oleh berbagai aspek. Secara statistik, berdasarkan data dari BPS RI (2021) menunjukkan bahwa Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) Indonesia Tahun 2021 masih sebesar 13.08. Selain itu, data dari BPS RI (2021) pun menunjukkan, jika Angka Rata- Rata Lama Sekolah (RLS) Indonesia Tahun 2021 masih sebesar 8,54. Data itu mendeskripsikan bahwa indeks pendidikan di Indonesia masih relatif rendah. Indeks pendidikan yang relatif rendah akan membawa efek domino terhadap akses pendidikan bagi anak-anak di Indonesia.

Belum lagi, dengan persoalan disparitas kualitas standar nasional pendidikan di berbagai daerah, yang menghambat pemenuhan pendidikan yang berkualitas bagi anak. Di tambah, dengan belum proporsional dan efi siennya anggaran, guna mengakselerasi kualitas pendidikan bagi anak di Indonesia juga menjadi faktor utama.

Di samping itu, rendahnya kemampuan masyarakat untuk pembiayaan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, khususnya pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, juga menghambat akses pendidikan bagi anak. Hal ini ditambah dengan kondisi berbagai elemen pendidikan belum sepenuhnya memiliki pemahaman dan kesadaran akan hak dan tanggung jawabnya untuk pemenuhan hak-hak pendidikan bagi anak. Akibatnya, program wajib belajar 9 tahun pun belum terlaksana tuntas.

 

 

Solusi

Melihat berbagai problematika pendidikan bagi anak di Indonesia itu, tentu memerlukan perhatian secara serius guna merumuskan berbagai alternatif penyelesaiannya. Hal ini penting guna mengembangkan akses pendidikan bagi anak secara inklusif dan mengedepankan pemenuhan hak pendidikan anak secara optimal.

Berikut beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam perumusan kebijakan pendidikan bagi anak. Pertama, ialah perlunya upaya rekonstruksi sistem pendidikan nasional yang dilakukan secara sistematis, terarah, dan berkelanjutan sesuai amanat konstitusi, guna pencapaian tujuan pendidikan nasional, dan tujuan pembangunan nasional.

Perbaikan sistem pendidikan nasional harus mampu menjawab tantangan dan perubahan zaman sehingga dibutuhkan sebuah grand design, road map, blue print, atau peta jalan pendidikan nasional sebagai pemandu arah pendidikan di masa depan. Pentingnya grand design atau peta jalan pendidikan nasional ini, sebagai kompas penuntun dalam pemenuhan hak-hak pendidikan bagi anak.

Kedua, diperlukan tindak lanjut dari setiap hasil asesmen melalui langkah-langkah preventif agar iklim keamanan sekolah dapat kondusif. Hal ini penting agar peserta didik merasa aman dan nyaman dari berbagai perundungan, hukuman fi sik atau kekerasan, dan pelecehan seksual. Setiap anak tentunya memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas secara aman, nyaman, tentram, dan damai.

Perlu adanya sinergitas, dan harmonisasi dari tripusat pendidikan bagi anak, dan meningkatkan kesadaran berbagai elemen pendidikan akan hak dan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak.

Ketiga, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diharapkan terus mengakselerasi programprogram afi rmasi pendidikan bagi anak-anak dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah dan anak-anak di wilayah 3T. Di samping itu, program wajib belajar 9 tahun atau bahkan wajib belajar 12 tahun pun harus terus dioptimalkan sehingga dapat mengatasi angka putus sekolah dan angka tidak bersekolah di Indonesia.

Upaya ini, tentu harus diiringi dengan konsistensi dan dukungan terhadap optimalisasi kualitas standar nasional pendidikan di berbagai daerah, guna memenuhi kebutuhan pendidikan yang berkualitas bagi anak.

Melalui berbagai upaya itu, diharapkan mampu memberikan akses pendidikan yang infklusif bagi setiap anak. Dengan demikian, setiap anak pada hakikatnya memiliki kedudukan yang setara dan memiliki kesempatan yang sama, dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »