Pelajar Pancasila


PANCASILA, sebagai dasar, falsafah negara sekaligus pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia selama ini terasa kurang ‘terbumikan’. Ia seumpama konsep yang bersemayam di atas petala langit. Seolah hanya disentuh oleh para negarawan dan begawan. Padahal, founding fathers bangsa ini menggalinya dari ‘bumi’ manusia nusantara. Dari bumi seharusnya mudah untuk dibumikan.

Metode membumikan konsep terbaik adalah melalui pendidikan. Di era Orde Baru, pengajaran Pancasila di sekolah-sekolah cukup masif meski cenderung monolog dan monoton. Terlepas dari plus minusnya, kita tetap apresiasi ikhtiar di era itu karena bisa dirasakan manfaatnya. 

Saat ini, kita berharap cukup besar terhadap terobosan pemerintah yang telah merilis Kurikulum Merdeka melalui Keputusan Mendikbudristek No. 56/M/2022. Di dalamnya berisi proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila ini dibentuk untuk menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan dan menguatkan nilai-nilai luhur Pancasila peserta didik. Proyek ini dilaksanakan dengan melatih peserta didik untuk menggali isu-isu konkret di lingkungan sekitarnya dan berkolaborasi untuk memecahkan masalah tersebut. 

Profil pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi; beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebhinekaan global, bernalar kritis dan kreatif. Keenam dimensi tersebut merupakan satu kesatuan agar setiap individu dapat menjadi pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila. 

Setiap dimensi tersebut terdiri dari beberapa elemen dan sebagian elemen dijelaskan menjadi sub-elemen. Sebagai contoh, dimensi pertama (beriman, bertakwa dan berakhlak mulia) memiliki beberapa elemen kunci, seperti akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam dan akhlak bernegara. 

Dimensi profil pelajar Pancasila di antaranya dimensi bernalar kritis dan kreatif. Dalam literatur pembelajaran, kemampuan bernalar kritis dan kreatif sudah menjadi common skills di abad 21. Di titik ini, barangkali salah satu alasan mengapa kedua dimensi tersebut diangkat adalah agar Pancasila tidak sekadar dibumikan namun juga memiliki relevansi dengan kebutuhan dan semangat zaman (zeitgeist).

Sebagaimana diketahui bahwa keterampilan abad 21 dibagi menjadi tiga kategori, yakni keterampilan belajar (learning skills), keterampilan literasi (literacy skills), dan keterampilan hidup (life skills). Jika kita menggunakan kerangka ini, baru dapat dimengerti bahwa dimensi bernalar kritis dan kreatif masuk dalam kategori keterampilan belajar (learning skills).

Yang menarik, dimensi lainnya juga ternyata relevan dengan kategori keterampilan abad 21 lainnya. Misalnya dimensi mandiri, gotong royong dan berkebhinekaan masuk dalam keterampilan hidup (life skills). 

Dari keenam dimensi Profil Pelajar Pancasila tidak ada yang eksplisit keterampilan literasi (literacy skills). Tidak ada dimensi literasi informasi, media dan teknologi namun secara implisit keterampilan yang juga dibutuhkan oleh peserta didik di abad 21 apalagi setelah terjadi pandemi covid-19, yang baru-baru ini kurvanya kembali naik, literasi teknologi menjadi semakin krusial dapat kita temukan.

Salah satu tujuan diberlakukannya kurikulum merdeka justru adalah dalam rangka pemulihan pembelajaran akibat terjadinya learning loss (ketertinggalan pembelajaran) karena pandemi. Profil pelajar Pancasila yang menjadi proyek besar dari kurikulum tersebut juga diarahkan untuk meningkatkan keterampilan literasi peserta didik. 

Memang, dalam dimensi bernalar kritis, ada elemen memperoleh dan memproses informasi dan gagasan. Di sana disebutkan bahwa pelajar Pancasila harus mampu mencari, mengidentifikasi dan mengolah informasi. Dengan kata lain mereka harus literate terhadap data dan fakta, yang itu secara otomatis membutuhkan keterampilan literasi informasi, media dan teknologi yang memadai. 

Meskipun tidak secara eksplisit tercantum sebagai salah satu dimensi profil pelajar Pancasila, namun pada praktiknya literasi dikuatkan dalam setiap dimensinya. Pelajar pancasilais harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman kontemporer salah satunya dengan melek informasi dan teknologi.

Pembumian nilai Pancasila harus dibawa ke ranah ‘kini’ dan ‘di sini’. Realita kehidupan peserta didik yang sebagian ruang aktivitasnya berada di media sosial dan internet, bahkan mungkin ke depannya di metaverse perlu difasilitasi dalam kurikulum yang seharusnya benar-benar merdeka. Kemerdekaan tersebut baru bisa tercapai dengan keterampilan literasi yang baik. Sehingga pembelajaran Pancasila di era kini tidak boleh lagi monoton dan hanya difokuskan di arena etika-moral. 






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »