Pekerjaan Besar Hadi Tjahjanto


PRESIDEN Joko Widodo melantik Hadi Tjahjanto menjadi menteri agraria dan tata ruang/badan pertanahan nasional (ATR/BPN) menggantikan Sofyan Djalil, di Istana Negara, Rabu (15/6). Mantan Panglima TNI ini dilantik bersama Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang didapuk menjadi menteri perdagangan menggantikan Muhammad Luthfi .

Ada dua pesan penting yang disampaikan Presiden Jokowi kepada Hadi, yakni menyelesaikan sebanyakbanyak sengketa lahan dan menuntaskan masalah sertifikat, termasuk di dalamnya urusan lahan dan tanah yang berkaitan dengan ibu kota negara (IKN). Dua soal ini merupakan pekerjaan besar yang harus diselesaikan dalam dua tahun tersisa kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Ketimpangan kepemilikan lahan

Untuk menuntaskan kedua tugas tadi, hal yang patut didalami ialah akar masalah terjadinya konflik agraria di Indonesia. Hadi perlu  membangun komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan kelompok masyarakat, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Pusat Studi Agraria IPB University (PSA IPB), Sekretariat Bina Desa Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan masih banyak lagi. Lembaga-lembaga tersebut memberikan perhatian yang besar terkait upaya mewujudkan keadilan agraria. Langkah ini diharapkan mampu membangun sinergi sekaligus legitimasi bagi kesungguhan negara menuntaskan berbagai persoalan terkait agraria.

Mohammad Tauchid (1954) mengingatkan bahwa soal agraria ialah soal hidup dan penghidupan manusia. Tanah ialah asal dan sumber makanan. Kepemilikan tanah menjadi basis status sosial, politik dan ekonomi serta budaya. Siapa memiliki tanah (luas) maka nasibnya akan tenang, berkecukupan, bahkan berlimpah. Itulah sebabnya banyak orang rela berjuang sekuat tenaga bahkan mempertaruhkan hidupnya demi menjaga serta mempertahankan kepemilikan lahan.

Sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk menjamin keadilan agraria sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1960.  Undang-undang ini secara tegas menjamin pemilikan lahan oleh petani seluas minimal 2 hektare (ha). Tujuannya jelas yakni untuk menjamin kehidupan petani sekaligus menggaransi kemajuan bangsa.

Tetapi persis di sinilah persoalannya bermula. Ketentuan itu hanya macan kertas karena tidak pernah dilaksanakan. Akibatnya, ketimpangan kepemilikan lahan seakan abadi karena sudah berlangsung lama sejak jaman penjajahan. Pada jaman kolonial kepemilikan lahan oleh 0,5% orang Eropa, khususnya Belanda mencapai 60 persen. Sementara 98% orang Indonesia hanya menguasai 20%. Selebihnya dikuasai oleh orang asing lainnya, terutama Tiongkok dan India yang jumlahnya kurang dari 2%.

Kondisi saat ini tidak jauh berbeda. Jika dulu kolonial, kini lahan dimonopoli oleh pemilik modal. Akatiga Bandung, LSM yang mengadvokasi petani mencatat bahwa ketimpangan kepemilikan lahan antara orang kaya dan miskin sudah teramat parah. Tercatat 20% orang kaya Indonesia menguasai 69% lahan. Selebihnya, yakni 31% dibagi kepada 80% penduduk. 

Ketimpangan kepemilikan lahan ini mengakibatkan petani dan pemilik modal saling berhadapan secara frontal. Laporan Akhir Tahun 2020 KPA mencatat 241 kasus konflik agraria. Sektor perkebunan menyumbang konflik terbanyak, yakni 122 kasus. Berikutnya sektor kehutanan 41 kasus, infrastruktur 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 3 kasus, dan agribisnis 2 kasus. Berbagai kasus tersebut tersebar di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Jika ditambah kasus-kasus konflik yang terjadi di Bali dan Nusa Tenggara tentu lebih banyak lagi.

Tingginya konflik tersebut tentu amat merugikan petani. Setidaknya tercatat 135.332 keluarga menjadi korban konflik lahan. Sementara lahan petani yang menjadi objek sengketa mencapai 624.272.711 ha. Angka ini sesungguhnya lebih luas lagi mengingat banyaknya konflik agraria yang belum terdata dengan baik.

Ketimpangan kepemilikan lahan juga terkonfi rmasi dari minimnya lahan yang dimiliki petani saat ini yakni rata-rata 0,3 ha. Ini berbeda dengan Jepang dan Thailand. Kedua negara tersebut menjamin kepemilikan lahan oleh petani minimal 2,5 ha. Faktor ini yang bisa menjelaskan mengapa kesejahteraan petani di kedua negara tersebut jauh melampaui kehidupan dan nasib petani kita.

Informasi publik pertanahan

Dari sisi pelayanan informasi publik, Kementerian ATR/BPN sudah berada pada level Informatif. Informatif berarti segala informasi yang berada di lembaga ini sudah dibuka secara baik kepada masyarakat. Informasi dimaksud mencakup administrasi, program, realisasi program dan hasil-hasilnya serta laporan keuangan.

Namun, saya menilai predikat informatif bagi lembaga ini kurang tepat sehingga perlu dicermati kembali. Ini terkait dengan maraknya kasus mafia tanah yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Sudah tepat kalau Presiden Joko Widodo membentuk satgas yang secara khusus ditugasi untuk

memberantas kasus-kasus mafia tanah.

Di samping itu, banyaknya kasus konflik lahan merupakan anak kandung dari belum terbukanya lembaga ini dari sisi pelayanan informasi. LSM sering mengadukan sengketa informasi terkait BPN/ATR. Sengketa yang diajukan beragam, yakni masalah sertifikat, dokumen hak guna usaha (HGU), warkah tanah, dsb.

Dengan merujuk pada persoalan tadi, dua hal mesti dilakukan demi memastikan terwujudnya keadilan agraria di masa depan. Pertama, penggalian aspirasi masyarakat tentang harapan untuk mendapatkan haknya atas tanah. Tanah untuk rakyat merupakan cita-cita yang terus dikumandangkan oleh kaum tani. Tanpa keadilan kepemilikan tanah/lahan maka konflik akan terus berulang.

Kedua, ATR/BPN kiranya terus membudayakan keterbukaan informasi. Berbagai program dan implementasinya harus dinyatakan sebagai informasi publik. Informasi-informasi tersebut wajib dibuka kepada masyarakat sebagai mekanisme untuk menjamin tumbuhnya pengawasan oleh masyarakat. Ujungnya ialah berbagai potensi penyalahgunaan kekuasan bisa diminimalisasi.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »