Pasal Warisan Kolonial Jangan Dihidupkan 


PEMERINTAH telah menyerahkan draft teranyar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI pada Rabu (6/7). Draft RKUHP yang di dalamnya memuat belasan isu penting ini mengundang protes keras dari mahasiswa dan para pakar. Hal ini terjadi karena draft RKUHP yang akan disahkan ini masih mempertahankan pasal-pasal kontroversial warisan hukum Hindia Belanda. Yakni tentang pasal penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden dan pejabat publik di pemerintahan.     

Haatzaai artikelen

Pasal penghinaan terhadap pejabat dan lembaga negara berlaku di beberapa negara dengan pengecualian di hampir sebagian besar negara demokrasi. Indonesia sendiri selama lebih dari tujuh dekade lamanya mewarisi pasal-pasal kolonial Belanda sejenis itu yang dikenal sebagai haatzaai artikelen, yang diperkenalkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1914. 

Pasal penghinaan atau ujaran kebencian sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan juga terkait dengan permasalahan eksternal. Yakni menyangkut netralitas Belanda ditengah kecamuk perang besar di Eropa. Kees Van Dijk dalam karyanya berjudul The Netherlands Indies and the Great War menjelaskan bahwa Belanda perlu mengontrol suara pers di Hindia Belanda. Tujuannya agar pers tidak terlalu keras melayangkan kritik terhadap aktor besar dalam perang dunia pertama dalam hal ini Jerman. 

Suara anti-jerman dikhawatirkan dapat menggangu hubungan Belanda-Jerman di Eropa. Selain suara anti-Jerman, pemerintah kolonial juga dipusingkan dengan serangan terhadap kebijakan pemerintah dan kecenderungan jurnalis nasionalis dalam menulis artikel yang dianggap memicu kebencian terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini kemudian mendorong diberlakukannya cara hukum yang spesifik guna mengekang kebebasan di tanah jajahan yang berbeda dengan hukum pidana di negeri induknya (Belanda). 

Pada gilirannya, kita menyaksikan serangkaian upaya pemerintah kolonial menggunakan pasal haatzaai untuk menekan tidak hanya pers bumi putera tetapi juga tokoh pergerakan nasional. Atas hal itu, sejumlah pakar hukum menilai pemerintah Indonesia sedang berjalan mundur karena dianggap hendak memenjarakan kebebasan yang justru dulu diperjuangkan dan diidamkan dengan susah payah. 

Alasan keseimbangan 

Di tengah serbuan kritik terhadap pasal penghinaan dalam draft RKUHP ada baiknya kita melihat ulasan dari Ariel Heryanto, profesor emeritus dari Monash University dalam sebuah artikelnya yang dimuat Kompas. Ariel pernah mengatakan bahwa menghidupan pasal penghinaan bukan merupakan langkah konkret bagi terciptanya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan nama baik orang lain. 

Hal itu diutarakannya ketika berusaha merespon pendapat Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Yasona Laoli pada 2019. Ariel berpandangan demi keseimbangan, seharusnya ada pasal-pasal yang mengancam pejabat negara apabila menyerang kehormatan rakyat. Bukan sebaliknya. Ariel mengatakan demikian mengingat hak bersuara pejabat jauh lebih besar daripada rakyat biasa atau tidak berimbang. Mengingat pemerintah mempunyai seluruh perangkat yang kokoh seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pendidikan, Kantor Humas, dan Influencer. (Ariel Heryanto, Kompas,26 Juni 2021).

  

Segala perangkat yang dimiliki pemerintah seyogianya membuat pemerintah merasa mampu untuk menyeimbangkan situasi dan menjamin kelangsungan  prinsip kebebasan berpendapat dialam demokrasi. Bukan malah memformulasikan produk hukum yang terkesan menihilkan wibawa dan keberanian para pemimpin yang duduk di pemerintahan sampai-sampai memerlukan perisai. 

Meskipun memang di lain pihak terdapat kendala lain yang lebih rumit terutama ketika kebebasan berpendapat secara liar diekspresikan melalui berbagai saluran termasuk media sosial yang sulit untuk diawasi. Kita juga tidak bisa menampik realitas tentang suburnya beragam narasi yang berisi ujaran kebencian dan upaya untuk mengurangi rasa percaya terhadap pemerintah.

 

Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang tidak pernah ada baiknya di mata satu kelompok tertentu. Tetapi di negara demorasi, sekali lagi kritik adalah suatu keniscayaan. Tidak ada orang yang istimewa di dalam demokrasi. Semua sama kedudukannya. Dengan demikian apapun yang pemantiknya, sikap bersikeras untuk memperjuangkan pengesahan RKUHP hanya akan menguatkan asumsi publik terhadap pemerintah yang dinilai paranoid terhadap kritik dan cenderung ingin diistimewakan

Sebening kristal

Alih-alih memanfaatkan keberadaan sumber daya seperti tenaga ahli dan perangkat yang dimiliki yang berkemampuan untuk mengulas batas-batas yang jelas antara kritik dan penghinaan, pemerintah seharusnya tetap bersikap santai. Hadapi semua kritik dengan gagah berani. Pemerintah tidak perlu risau sebab antara kritik dan penghinaan tidak akan tertukar. Keduanya sebening kristal.

 

Penghinaan dan kritik adalah dua hal yang berbeda yang tidak perlu dirinci, diperluas, dan diperjelas dalam RKUHP. Sebab bila itu tetap dilakukan, Indonesia bukan saja akan dianggap mundur karena memunggungi demokrasi dengan menghidupkan pasal kolonial. Melainkan juga budaya ketimuran kita kemudian menjadi dipertanyakan. Yakni budaya orang Indonesia yang sangat menjunjung etika dan moral sebagai budaya yang melekat. Sehingga sebenarnya di alam demokasi ini bangsa kita tidak perlu lagi diajari untuk membedakan mana kritik dan mana penghinaan.   

Keseimbangan yang harus disasar pemerintah ialah keseimbangan yang bersifat objektif baik di mata hukum, di mata demokrasi maupun dalam pandangan objektif masyarakat luas. Karena itu, pemerintah seharusnya menggunakan inisiatifnya untuk melahirkan produk hukum yang lebih inovatif dari pada menghidupkan atau mengkodifikasi pasal warisan kolonial yang jauh dari kata kreatif dan jelas-jelas memunggungi jiwa zaman. 






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »