
APA kabar ikan asin, sayur kangkung dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?
Apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?
Kesetiaan, cita-cita atau sekedar lapar dan kebahagiaan kecil?
Baca juga : Rekam Obesitas dari Sudut Pandang Berbeda
Begitulah tiga larik pertama di sajak Sketsa Penjara I (Tarian penyaliban manusia) karya M Fadjroel Rachman dalam bukunya yang berjudul Catatan Bawah Tanah. Sajak pertama itu ditulis di Penjara Kebon Waru pada November 1989. Fadjroel membukanya dengan pertanyaan mendasar.
Lanjut ke sajak Sketsa Penjara X (Bersimpuhlah di hadapan Bunda), yang menyiratkan tentang ramalan terhadap kekuasaan rezim Orde Baru yang semakin brutal menebarkan teror, kekerasan, dan ketakutan kepada mahasiswa dan rakyat menjelang akhir kekuasaan mereka.
Hal tersebut tecermin pada larik Kita harus bersimpuh di hadapan Bunda terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian memohon doa restunya. Artinya tak ada lagi keamanan di negeri ini, engkau bisa saja raib tanpa seorang pun sahabat atau kerabatmu mengetahuinya. Terbukti Wiji Thukul dan kawan-kawan diculik sepanjang 1996-1998 dan tak diketahui rimbanya hingga hari ini.
Baca juga : Ruang yang Sama untuk Berkarya
Gambaran rezim Orde Baru juga tersirat pada sajak Sketsa Penjara VII (Kita harus menuliskan hak asasi kita). Ia menuliskan larik Kita harus menuliskan semua hak asasi kita/Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan menjadi berhala haus darah dan pencabut nyawa kita. Fadjroel menjelaskan larik tersebut merupakan gambaran dari ribuan orang yang terbunuh pada Kerusuhan Mei 1998 dan tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam Tragedi 12 Mei 1998. Terdapat empat Pahlawan Reformasi yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 057/PK/2005 tanggal 15 Agustus 2005, yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Dalam buku ini, Fadjroel juga mengungkapkan penjara menjadi cermin dari struktur kekerasan dan kekejaman politik, manusia hanya dilihat sebagai angka belaka. Soal itu dituangkan dalam Sajak Sketsa Penjara XXI (Narapidana blok barat bawah nomor 74) yang ditulis di Kebon Waru-Nusakambangan-Sukamiskin pada September 1990.
Siapa kamu, hei manusia celaka?
Baca juga : Ketika Rio Johan Bermain-main
– Nama saya?
– Bukan! Nomor register kamu. Kami tak perlu tahu siapa dirimu
– Saya narapidana blok barat bawah nomor 74 – Ambil tikar pandan ini untuk alas tidurmu dan pakailah seragam biru-biru ini sepanjang hari-hari kurunganmu di penjara ini
Baca juga : Pelajaran Cinta Kasih dari Sunan Giri
Dan ingatlah kamu bukan siapa-siapa lagi di sini. Kami yang menentukan menjadi apa dan siapa dirimu
Buang jauh-jauh segala harapan dan tetek bengek kemanusiaanmu
Inilah rimba raya di urat lehermu. Inilah istana musim panasmu, jangan mengeluh
Baca juga : Tangkal Kesepian dengan Berbagi Cerita
Sajak ini memperlihatkan bagaimana sipir penjara menihilkan keberadaan individu dan hanya disebut serta dilihat dalam angka dan lokasi sel penjara berada.
Pria kelahiran Banjarmasin ini juga menuliskan sajak berjudul Sketsa Penjara XXIII (Kuserahkan mayat dingin ini kepadaMu), yang merekam kematian anak berusia 12 tahun di Penjara Kebon Waru. Pemenjaraan dan kematian yang sangat mengganggu hati nuraninya hingga hari ini.
Kelima sajak itu merupakan bagian dari buku Catatan Bawah Tanah. Total ada 34 sajak dalam buku ini, yang ditulis Fadjroel selama menghabiskan tiga tahun sebagai tahanan dan narapidana politik serta ditahan di empat penjara, yaitu Penjara Militer Bakorstanasda, Penjara Kebon Waru, Penjara Batu di Pulau Nusakambangan, dan Penjara Sukamiskin.
Baca juga : Bertolak ke Bali Masa Silam
Sajak-sajak Catatan Bawah Tanah bisa diselundupkan ke luar penjara dengan memasukkannya ke dalam sol sepatu, lalu diserahkan kepada teman-teman dari Institut Teknologi Bandung yang membesuk di Penjara Kebon Waru dan Penjara Sukamiskin.
Buku ini bisa menjadi gambaran utuh tentang suatu peristiwa melalui sajak yang singkat tapi penuh makna. Dengan menuliskannya sebagai sajak, perasaan Fadjroel yang saat itu menolak menyerah dapat tersampaikan dengan baik. Buku ini bisa menjadi pengingat bagi generasi mendatang tentang apa yang terjadi selama rezim Orde Baru dan menjadi perhatian agar peristiwa tersebut tak terjadi lagi di kemudian hari. (Faj/M-3)
______________________________________________________________________________________________________
Baca juga : Buka Tangan dan Telinga untuk Merawat Papua
Judul: Catatan Bawah Tanah
Penulis: M Fadjroel Rachman
Tahun terbit: Januari 2024
Baca juga : Mengurai Keruwetan Warga Suburban
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah halaman: 167
Baca juga : Merancang Rumah, Mengenal Interaksi Antarunsurnya
Recent Comments