Kukuk, Botol Air Khas Badui


SUATU kali sepulang perjalanan mengunjungi perkampungan suku Badui di Desa Kanekes, Leuwiedamar, Lebak, Banten, saya membawa pulang oleh-oleh berupa kukuk, botol minuman yang kerap dibawa masyarakat setempat kala bepergian. Belakangan saya tahu produk etnobotani itu juga dibuat orang di banyak daerah Indonesia, bahkan di India dan Tiongkok.

Kukuk ialah wadah atau botol air yang terbuat dari buah pohon labu keluarga Cucurbitaceae, khususnya labu air atau labu botol (Lagenaria siceraria). Bentuk buahnya bervariasi, bulat hingga lonjong memanjang dengan kulit liat licin. Buah muda kerabat dekat beligo atau kulur atau kundur (Benincasa hispida) itu dapat disayur dan buah tua dijadikan tabung, kantong hias, koteka, atau wadah air.

Urang (orang) Kanekes sengaja memilih hidup dalam aturan buyut atau karuhun. Tabu (terlarang) menggunakan perkakas modern selain yang dibolehkan adat, termasuk penggunaan botol minum kaca/gelas, keramik, metal, dan plastik, sebagaimana sejak lama digunakan sanak kerabat mereka lainnya di sekitar Kanekes. Karena itu, kukuk tetap fungsional, khususnya di Cibeo, Cikertawarna, dan Cikeusik, yang termasuk kawasan Badui Dalam.

Air bersih keperluan sehari-hari di imah (rumah), untuk memasak makanan dan minum misalnya, diambil secukupnya dari sungai dan situ (danau), atau dari tali air yang diberi pipa bambu dan membentuk pancuran. Air bersih dibawa ke rumah untuk digunakan atau disimpan sebagai persediaan dengan menggunakan keled, yakni lodong (tabung panjang) terbuat dari batang bambu.

Sebagai penawar haus saat bekerja di ladang atau bepergian keluar kampung, urang Kanekes menggunakan kukuk sebagai wadah atau ‘botol’ air minum, yang tradisinya dibuat atau disiapkan sendiri oleh mereka. Secara berkala, tiap keluarga atau sekelompok keluarga sekampung menanam labu air yang selain untuk bahan sayur, (buah pilihan dibiarkan tua) untuk bahan membuat kukuk dan pasu/mangkuk air.

Sebagai produk etnobotani, kukuk dibuat lewat proses pengerjaan cukup lama. Dimulai dari memilih buah labu yang dianggap baik, dibiarkan menggantung dan menua pada teratak rambatnya, hingga daun-daun batang jalar pohonnya mengering. Buah dipetik dengan menyisakan sedikit tangkai tetap tinggal pada ujung buah, dicuci bersih, lalu digantung di atas perapian dapur rumah.

Proses pengasapan itu bisa berlangsung berhari-hari, bahkan bisa berbulan-bulan, hingga buahnya benar-benar kering oleh hawa panas asap dapur. Percaya tidak percaya, cara pengeringan tradisional dengan asap itu tak bisa diganti dengan teknik lain, semisal menjemurnya langsung di terik matahari. Cara itu memang membuat kulit buah cepat kering, “Tapi getas, gampang retak, bocor,” ucap Naldy, warga Cibeo, Badui Dalam.

Proses pengasapan yang cukup lama dan tidak dipaksakan itu menghasilkan kulit buah labu yang benar-benar kering dan liat, tak mudah pecah. Kulit yang tadinya hijau keputihan berubah menjadi kuning kecokelatan atau bahkan hitam. Bobot buah yang mulanya relatif berat, karena isi buah yang padat dan berair, pun menjadi ringan. Bila dikocok-kocok, akan terdengar bunyi biji-bijinya bergesekan di dinding dalam kulit.

Buah-buah itu lantas dicuci, dibersihkan dari sisa-sisa langes asap yang menempel pada kulit, dilap dan diangin-anginkan sejenak kemudian bagian ujung buah dilubangi dengan menggunakan pisau kerat. Melalui lubang itu semua biji dan daging buah (yang sudah mengering) dikeluarkan hingga rongga dalam kontur buah labu benar-benar kosong, untuk kelak menyimpan air yang diisi dari lubang.

Urang Kanekes atau urang Badui membuat kukuk untuk wadah air minum, penawar haus saat mereka harus bekerja di ladang atau saat berjalan jauh keluar kampung. Karena itu, kukuk diberi pengait dari anyaman bambu, rotan, agar mudah ditenteng, atau dilengkapi tali dari anyaman kulit kayu teureup (Artocarpus odoratissimus) agar bisa dicangklongkan ke bahu. Tali juga berguna untuk menggantung kukuk di ladang.

Bagi pendatang, produk etnobotani yang disebut kukuk itu sangat menarik untuk dibeli dan dicangking pulang sebagai oleh-oleh. Selain sekadar bukti bahwa saya sudah tiba di tanah urang Kanekes yang unik dan khas, benda itu juga diperuntukkan melengkapi koleksi ‘barang antik’ yang terpajang di rumah.

Gerakan pecinta alam Indonesia (asal Jakarta, Bogor, dan Bandung) yang merintis nyaba Badui sejak akhir dekade 1970-an telah menghasilkan banyak publikasi tak cuma di koran dan majalah. Bahkan, dari gerakan atau aktivitas itu, lahir artikel-artikel ilmiah dan nama-nama akademisi yang kini dikenal masyarakat sebagai ‘ahli’ Badui.

Nyaba Badui tempo itu ibarat datang ke ‘tempat jin buang anak’, saking lamanya waktu tempuh, walau faktanya cuma berjarak kitaran 125 km dari Jakarta. Transportasi paling andal ketika itu ialah naik kereta api (yang penumpangnya berjubel hingga atap) rute Tanabang-Rangkasbitung; dari ibu kota Kabupaten Lebak itu ada bus (tua dan jalannya merayap) melayani trayek ke Leuwiedamar, desa/kecamatan di Kabupaten Lebak.

Mi’ing (Dedy Gumelar) dan Didin dari grup lawak Bagito, yang lahir dan besar di Leuwiedamar, bisa jadi saksi betapa untuk ke Kanekes-Badui tempo itu, siapa pun harus mau jalan kaki 2-3 jam dari Leuwiedamar ke rumah Jaro Kharis, tokoh lokal karismatik di Desa Cisimeut, lalu nyeberang ngerobok (berenang) melewati Sungai Cisimeut untuk tiba di Kampung Kaduketug, pusat pemerintahan administratif Desa Kanekes.

 

Perkembangan zaman

Dampak publikasi, diawali kehadiran kaum pecinta alam Indonesia yang banyak di antaranya merupakan mahasiswa dan wartawan, membuka Kanekes-Badui dari ketertutupan tradisional mereka. Pada 1974 saya dan Youth Science Club (cikal bakal Kelompok Ilmiah Remaja/KIR di Indonesia) Gelanggang Remaja Jakarta Selatan perlu waktu sehari, kini Jakarta-Badui bisa ditempuh bermobil dalam tempo 3 jam saja.

Siapa pun yang ingin nyaba Badui di Kanekes kini tak perlu ngerobok atau berenang menyeberangi Sungai Cisimeut. Ada jalan aspal relatif mulus yang bisa dilalui bus kapasitas 40 penumpang hingga ke ‘Gerbang Badui’ di Kampung Ciboleger, Desa Bojongmenteng, Kesamatan Leuwiedamar, yang berbatasan langsung dengan Kampung Kaduketug, Desa Kanekes, yang kadung populer sebagai Badui.

Pada 2016, bertepatan dengan HUT ke-71 RI, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk meresmikan Ciboleger sebagai kampung usaha kecil dan menengah (UKM) digital ke-300. Kampung di pinggir batas Desa Kanekes yang merupakan tanah ulayat urang Badui itu kini memang menjadi tempat tumbuh berbagai UKM, khususnya toko yang menjual ragam suvenir yang dalam keseharian biasa digunakan warga Kanekes-Badui.

Nggak perlu susah payah, blusukan jalan kaki ke kampung-kampung di Badui. Cukup naik mobil dari garasi rumah ke Ciboleger, ajak selfie orang Badui Dalam yang lagi nunggu sesuatu di Ciboleger, ‘jepret-jepret!’, kita sudah punya bukti nyaba Badui. Mau bawa pulang oleh-oleh? Kukuk, golok Badui, kain tenun, atau ikat batik seperti dipakai Presiden Jokowi? Banyak dijual di Ciboleger,” ucap seorang penyuka piknik.

Apa pun ‘barang Badui’ kini memang tersedia di Ciboleger. Namun, apa semua yang dijual di toko-toko UKM itu sebenar-benarnya produk etnobotani yang dibuat sendiri oleh urang Kanekes? Kita sama tahu, aturan adat tidak memungkinkan urang Badui menempa sendiri bilah golok Badui yang digunakan sehari-hari. Asal tahu saja, kain batik cap warna biru juga tak pernah dibuat di kampung-kampung Badui.

Di Kanekes kini juga nyaris tak ada warga membuat kukuk. Untuk bekal minum di jalan atau di ladang, urang Badui kini lebih banyak membawa air mineral kemasan plastik yang mudah didapat. Bahkan pedagang ragam minuman ringan dari luar Kanekes biasa mencegat rombongan pejalan kaki di pinggir setapak menjelang kampung-kampung di Kanekes. Lantas siapa pemasok ragam suvenir Badui itu? (M-4)

 

Tentang penulis

Mantan redaktur senior majalah Femina, aktivis pecinta alam, dan anggota Komunitas Seni Bulungan dan Asosiasi Tradisi Lisan.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »