IKAN-ikan kering bersisik keabuan tergantung di batang bambu. Sekilas, kondisi empat baris ikan itu baik-baik saja. Namun, dari pantulan cermin yang menjadi latar, tertangkap potongan-potongan jari di tubuh ikan.
Karya instalasi milik Adi Sundoro berjudul Behind The Fishes itu membawa gagasan kenangan traumatik dari tempat keluarganya tinggal. Dari cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi disebutkan pasca peristiwa kekerasan pada 1965 banyak orang yang enggan mengonsumsi ikan di wilayah itu. Pasalnya, dari dalam tubuh ikan kerap ditemukan potongan tubuh manusia yang diyakini merupakan korban kekerasan.
Instalasi yang dibuat Adi pada 2019 dengan material kertas letterpress itu menjadi karya yang menonjol di antara beberapa karya yang dipamerkan di Paper Work 1: Universality di galeri Artsphere, lantai dua Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan.
Dalam pameran yang berlangsung pada 10 Desember 2022-25 Januari 2023 itu Artsphere membawa gagasan eksplorasi seniman lewat medium kertas. Instalasi Adi mendorong batasan karya medium kertas menjadi karya yang tajam baik secara bentuk dan gagasan.
Selain karya Adi, Paper Work 1: Universality juga membawa berbagai karya dengan medium kertas dari seniman lintas disiplin. Secara gagasan, karya-karya yang muncul bersifar personal keseharian khas dalam lingkup karya seni kontemporer seperti refleksi para seniman pada saat pandemi atau rekaman keseharian mereka.
Hai itu, misalnya, dilakukan oleh Ruth Marbun (Utay) yang memanfaatkan goresan cat air untuk menghasilkan seri potret abstrak bertajuk Short Pages in Room Temperature. Utay mencoba merefleksikan gerak siklus kehidupan yang terhenti dan berjalan sepanjang pandemi dan apa yang bakal ditemui setelahnya.
Gagasan masa lampau, selain oleh Adi Sundoro, juga diangkat di karya seniman Bali Dewa Made Johanna. Ia mencoba bereksperimen dengan potret lawas koleksi Tropen Museum. Dia membawa gagasan sejarah dan ingatan yang bersilang antara album foto keluarganya yang sudah berjamur dengan teknik etsa foto di karyanya.
“Pada masa terdahulu, karya dengan medium kertas dianggap sebagai suatu karya yang tidak seunik lukisan di mata kolektor. Namun di pameran ini kami mencoba membawa karya-karya kertas yang juga perlu diakui dan sangat sepadan untuk dikoleksi. Pameran ini juga punya tujuan untuk melihat profisiensi teknis para senimannya,” kata kurator pameran Zarani Risjad kepada Media Indonesia saat ditemui di galeri Artsphere, Jakarta Selatan, Jumat, (23/12).
Menggugat Kenyamanan Medium
Banyak dari 18 seniman yang ikut berpameran juga mencoba keluar dari medium utama mereka. Seperti yang dilakukan seniman grafiti Streoflow yang biasa membuat karya-karya gigantik di ruang publik, kini ia mencoba mengecilkan skala karyanya dalam seri berjudul Interlude dalam empat karya bermedium kertas.
Palet biru masih muncul yang berpadu dengan bentuk abstraktif dan diagonal lewat palet hijau terang dan hitam. Empat seri karya ini semacam menjadi jeda sang seniman yang biasa bermain dengan skala besar.
Seniman Etza Meisyara, mengeksplorasi seni grafis dengan proses kimiawi. Ia membuat kolase digital yang ditempel pada pelat logam untuk dibakar dengan belerang dan aspal. Menghasilkan visual dengan lapisan tegas dengan nuansa kemuraman dari representasi warna hitam yang muncul.
“Kami ingin menemukan sesuatu yang unik dalam arti bisa melihat sisi seniman yang mungkin itu tidak ditemukan dalam pengkaryaan di medium lain. Selain itu, ini juga memperlihatkan bagaimana para seniman mendorong batas-batas medium kertas, dan menghasilkan karya kertas yang sangat beragam,” kata Zarani.(M-1)
Recent Comments