KITA barangkali bisa menyebut dengan mudah bahan makanan yang terbuat dari pisang. Mulai kue pisang, keripik, kolak, sirup, hingga pisang goreng. Begitu pula dengan singkong dan ketela. Semua komoditas pangan itu tersedia melimpah di hampir seluruh pelosok negeri ini dan dapat diolah menjadi berbagai aneka hidangan. Ketika harga gandum melonjak dan berpotensi menyebabkan krisis pangan di berbagai belahan dunia, kita semestinya tidak perlu khawatir karena berbagai sumber pangan banyak tersedia. Namun, masalahnya, selama ini kita tidak pandai mengelolanya. Kedelai, misalnya, sering kali impor. Alasannya, baik secara kualitas maupun kuantitas tidak mencukupi. Pertanyaannya, mengapa persoalan-persoalan itu tidak dibenahi dan mengapa solusinya selalu impor?
Kini, dengan melonjaknya harga gandum yang dipicu konflik Rusia-Ukraina, dua negara produsen terbesar komoditas itu, pemerintah berencana memanfaatkan sorgum sebagai substitusi/pengganti gandum yang memang sulit dibudidayakan di negeri ini. Padahal, masyarakat, khususnya di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur, sudah mengenal dan memanfaatkan tanaman itu dari dulu. Sorgum, atau cantel dalam bahasa Jawa, bahkan tertera di relief Candi Borobudur. Kearifan lokal di bidang kuliner itu semestinya dimanfaatkan untuk menopang perekonomian nasional agar berkelanjutan. Ia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Syukur-syukur bisa mengglobal.
Dulu bangsa Eropa jauh-jauh datang untuk mencari rempah-rempah seperti cengkih, lada, dan pala. Mengapa sekarang kita harus mengimpor berbagai komoditas pangan, padahal segalanya melimpah di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini? Okelah gandum tidak bisa dibudidayakan di sini, tapi, kan, ada substitusinya. Bukan cuma sorgum, melainkan juga singkong, jagung, dan tanaman umbi-umbian lainnya. Semua bisa diolah menjadi aneka kuliner lezat dan bergizi. Sudah saatnya kebijakan pangan berpihak pada komoditas dalam negeri. Dengan memanfaatkan sains dan teknologi, kita semestinya bisa. Jangan solusinya serbainstan, impor.
Konsep Nawacita yang digadang-gadang pemerintahan Jokowi harus betul-betul serius diwujudkan. Jangan sebatas slogan. Bagaimana caranya agar kita jadi bangsa produsen, bukan melulu jadi pasar yang dibanjiri berbagai produk dari bangsa lain? Bukan cuma pangan, melainkan juga sektor-sektor lainnya. Wajar jika beberapa waktu Presiden marah, masak sekadar pacul harus didatangkan dari Tiongkok? Ancaman krisis pangan dan energi yang terjadi saat ini kiranya harus jadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi. Tidak ada kata terlambat selama ada kemauan. Mentalitas harus diubah. Jangan sekadar puas jadi pemburu rente. Itu mental kere namanya.
Sudah hampir 80 tahun negeri ini merdeka. Sudah semestinya bangsa ini berdaulat, baik secara ekonomi, budaya, maupun politik, seperti yang dicita-citakan Sukarno-Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan kawan-kawan. Langkah itu mungkin bisa dimulai dari hal kecil dengan mengingatkan lagi jati diri bangsa. Pada momentum Agustusan ini, misalnya, sebaiknya diperbanyak lomba memasak aneka hidangan Nusantara berbahan pangan lokal. Atau meracik berbagai minuman, entah itu kopi, teh, maupun wedang jahe. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Ketimbang rakyat disuruh lomba balap karung dan makan kerupuk melulu, yang kurang faedahnya. Merdeka!
Recent Comments