Tanpa Strategi Berkelanjutan, Hemat yang “Memiskinkan”


 MEMASUKI pertengahan bulan April 2025, industri pariwisata dan perhotelan Indonesia berdiri di “persimpangan” antara optimisme pemulihan pascapandemi dan pesimisme mendalam akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Dengan target ambisius 14,6 hingga 16 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), serta 1,08 miliar perjalanan wisatawan nusantara (wisnus), pemerintah memosisikan sektor ini sebagai tulang punggung devisa non-migas.

Namun, pemotongan drastis anggaran Kementerian Pariwisata  (klausul lama KemenParekraf) —menyusut hampir 41% dari pagu sebelumnya— memunculkan keraguan di kalangan pelaku industri.

Dilain pihak kebijakan sertifikasi halal, promosi pariwisata berkelanjutan, penguatan praktik green tourism dan sustainable tourism, tetap digadang-gadang sebagai pilar utama. Bagaimana hal tersebut terealisasi maksimal tanpa dukungan fiskal yang memadai?

Industri menuntut bukan sekadar wacana, narasi puitis, melainkan konsistensi implementasi, insentif nyata, dan keberpihakan politik pemerintah yang utuh. Artikel ini menyajikan potret menyeluruh kondisi terkini, proyeksi, analisis SWOT, serta solusi strategis demi menjaga momentum pertumbuhan sektor kepariwisataan hingga Desember 2025.

  1. Proyeksi Pariwisata Indonesia Mei–Desember 2025

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per April 2025, kunjungan wisman per kuartal pertama naik 32% dibanding periode sama tahun lalu. Tiongkok, India, Malaysia, dan Australia masih menjadi empat besar kontributor. Di sisi lain, pergerakan wisnus menurun 7% akibat pemangkasan besar-besaran perjalanan dinas dan rapat-rapat kementerian/lembaga yang biasanya menyumbang signifikan pada okupansi hotel domestik.

Secara makro, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB ditargetkan menyentuh angka 4,6%, menyumbang devisa hingga US$22,1 miliar. Namun, angka-angka ini akan sulit tercapai tanpa intervensi kebijakan yang tepat.

  1. Realitas Fiskal: Antara Harapan dan Pemangkasan

Kebijakan Presiden dalam mengelola anggaran nasional membawa dampak langsung terhadap sektor pariwisata. Kemenpar harus rela melihat pagu anggarannya turun dari Rp1,49 triliun menjadi Rp 884,9 miliar. Selain untuk “belanja rutin”, anggaran tersebut menjadi sumber utama promosi pariwisata, fasilitasi pelatihan SDM, dan pengembangan desa wisata.

Dari sudut pandang industri perhotelan, efeknya sangat terasa. Asosiasi Perhotelan Nasional melaporkan penurunan okupansi rata-rata hingga 85% pada awal 2025, terutama di kota-kota sekunder seperti Jember, Makassar, dan Palangkaraya. Hotel-hotel yang selama ini mengandalkan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dari sektor pemerintah kini “terseok”.

Narasi penghematan anggaran pemerintah pusat memang logis dalam konteks fiskal, tetapi selayaknya tidak memutus ekosistem ekonomi kreatif yang sedang bangkit. Efisiensi tanpa strategi pemulihan berkelanjutan hanya akan menjadi “hemat yang memiskinkan.”

  1. Kebijakan Sertifikasi Halal, Pariwisata Berkelanjutan, dan Green Tourism

Peraturan Pemerintah No. 39/2021 yang diturunkan dari UU JPH (Jaminan Produk Halal) mewajibkan semua produk makanan dan minuman yang dipasarkan ke publik mengantongi sertifikasi halal paling lambat Oktober 2024 untuk usaha besar dan Oktober 2026 untuk UMKM.

Kemenpar —KemenParekraft pada klausul lama— mengklaim telah meluncurkan program pendampingan halal untuk lebih dari 3.000 desa wisata. Namun, tanpa dana memadai, program ini rentan menjadi jargon kosong.

Promosi green tourism kini menjadi agenda nasional, termasuk pembatasan pembangunan hotel di Bali, pajak turis internasional sebesar US$9, serta moratorium vila tak berizin. Namun demikian, sebagian pelaku usaha lokal melihat kebijakan ini ambigu: membatasi tapi tidak membina.

Program pengembangan destinasi prioritas (Labuan Bajo, Danau Toba, Mandalika) tetap digencarkan, namun progresnya tidak seragam. Beberapa terkendala pembebasan lahan, konflik sosial, hingga masalah logistik.

  1. Analisis SWOT

Strengths:

– Kekayaan alam dan budaya luar biasa (17.000 pulau, 1.340 suku, 700 bahasa).

– Posisi strategis Indonesia di jalur maritim dunia.

– Dukungan kebijakan sertifikasi halal memperkuat brand halal tourism global.

Weaknesses:

– Kualitas infrastruktur dan pelayanan belum merata.

– Ketergantungan pada beberapa destinasi besar (Bali, Jakarta, Yogyakarta).

– Pemotongan anggaran berdampak langsung pada efektivitas promosi.

Opportunities:

– Potensi pariwisata muslim global (US$300 miliar pada 2026).

Trend wellness tourism, eco-luxury, dan pariwisata spiritual.

– Kemajuan teknologi AI dan big data dalam pemasaran pariwisata.

Threats:

– Persaingan regional (Thailand, Vietnam, Malaysia) yang makin agresif.

Overtourism yang mengancam daya dukung ekosistem.

– Kebijakan fiskal yang tidak konsisten, dapat “mematahkan” kepercayaan investor.

      5.Rekomendasi Strategis.

1.Realokasi anggaran berbasis dampak

2.Kemitraan public-private (PPP)

3.Desentralisasi branding

4.Digitalisasi promosi dan transaksi

5.Peningkatan layanan di entry points wisatawan

      6.Membaca Arah, Menjaga Harapan

Indonesia tidak kekurangan destinasi, kekayaan budaya, atau keramahan penduduk. Yang dibutuhkan adalah konsistensi kebijakan, keberanian fiskal, dan keberpihakan nyata terhadap pelaku industri.

Pesimisme wajar muncul ketika efisiensi mengikis peluang, namun harapan tetap hidup jika publik, swasta, dan komunitas bersatu dalam visi yang sama: menjadikan pariwisata Indonesia bukan sekadar “alat ekonomi”, tetapi narasi “peradaban”.

Jember, 18 April 2025

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »