TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi menanggapi soal pelarangan ekspor bijih bauksit. Ia menepis bahwa bahwa smelter di Tanah Air belum mampu memproduksi bijih bauksit agar mendapatkan nilai tambah. Menurutnya Indonesia siap mengolah sendiri bahan baku menjadi alumina dan alumunium.
“Inalum (PT Indonesia Asahan Aluminium) ada kira-kira (kapasitas) 290 ribu ton di Asahan sana dan akan nambah yang lebih besar lagi. Alumina di Kalimantan juga ada dan mau nambah lagi,” ujarnya saat ditemui Tempo di Tangerang pada Kamis, 12 Januari 2023.
Adapun Presiden Jokowi resmi mengumumkan larangan ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023. Jokowi menyebut larangan ini akan diterapkan bersamaan dengan upaya mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.
Baca Juga: Terpopuler Bisnis: Luhut Bicara OTT KPK, Tol Trans Sumatera hingga Cuaca Ekstrem
Larangan ekspor bijih bauksit diumumkan Jokowi dua tahun setelah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020. Jokowi mengklaim kebijakan ini sudah meningkatkan nilai ekspor nikel. Semula Rp 17 triliun atau setara US$ 1,1 juta pada akhir 2014, melonjak jadi Rp 326 triliun atau setara US$ 20,9 juta pada 2021 alias meningkat 19 kali lipat. Jokowi memperkirakan akhir tahun ini ekspor nikel akan tembus lebih dari Rp 468 triliun atau lebih dari US$ 30 miliar.
Ia berujar apabila produk yang dihasilkan semakin hilir, nilai tambah yang akan terserap di dalam negeri akan luar biasa. Bijih bauksit, tuturnya, bisa dikembangkan untuk sejumlah industri, seperti otomotif dan konstruksi.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai hilirisasi bauksit akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah ihwal kapasitas smelter yang masih sangat terbatas.
Namun, menurutnya larangan ekspor bauksit akan memaksa pengusaha bauksit untuk membangun smelter. Baik yang dilakukan oleh setiap perusahaan maupun oleh kosorsium perusahaan dan joint venture dengan investor smelter. Karena itu, Fahmy menyarankan agar pemerintah harus memberikan insentif fiskal berupa tax holiday, tax allowances, dan bebas pajak impor untuk peralatan smelter.
Di sisi lain, Fahmy menyebut larangan ekspor bauksit dalam jangka pendek akan menurunkan pendapatan ekspor hingga Rp 21 triliun per tahun. Tetapi dalam jangka panjangnya, seiring meningkatnya nilai tambah dari hasil hilirisasi dan produk turunan bauksit, pendapatan Indonesia bisa meningkat hingga Rp 62 triliun per tahun.
Baca Juga: Tak Gentar Setelah Kalah di WTO, Ini Deretan Ekspor Bahan Mentah yang Disetop Jokowi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Recent Comments