Jokowi Diminta Tak Hanya Andalkan Pembiayaan Transisi Energi dari JETP


TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah diminta tak hanya mengandalkan pembiayaan transisi energi dari bantuan koalisi negara maju G7+ melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Rahdi, mengatakan pemerintah masih membutuhkan ongkos jumbo untuk merealisasikan mimpi mencapai net zero emission atau NZE pada 2060–atau lebih cepat. 

“Komitmen dari JETP itu tidak cukup. Kita tetap harus mengharapkan investor masuk karena transisi energi butuh Rp 500 triliun lebih, sedangkan komitmen JETP sekitar Rp 311 triliun,” ujar Fahmy saat ditemui di Departemen Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta, 21 November lalu. 

Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebelumnya mengumumkan Indonesia memperoleh komitmen bantuan dari kemitraan G7+ untuk pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 311 triliun. Dana itu diberikan dalam bentuk hibah dan pinjaman. 

Belum terang seberapa besar porsi pembagian antara pinjaman dan hibah yang didapatkan Indonesia. Dalam enam bulan ke depan, pemerintah diharuskan menyusun rencana pemanfaatan dana transisi energi tersebut. 

Dalam kesepakatan kemitraan JETP, negara-negara maju mensyaratkan Indonesia mencapai target-target tertentu, seperti membatasi puncak emisi ketenagalistrikan sebesar 290 megatron karbondioksida pada 2030 atau lebih rendah ketimbang rencana sebelumnya sebesar 357 megatron.

Kemudian, mempercepat bauran energi baru terbarukan dengan porsi 34 persen dalam delapan tahun mendatang serta membatasi pembangunan PLTU batu bara.  

Fahmy menuturkan, kendati komitmen ini memberikan kepastian Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi yang lebih murah, sifat kemitraannya tidak mengikat. Artinya, Indonesia bisa membatalkan atau menolak menerima bantuan bila pinjaman yang dikucurkan koalisi negara maju atau lembaga keuangan internasional memberatkan, khususnya dari sisi bunga utang. 

“Jadi tinggal bagaimana kita melobi mendapatkan bunga murah. Saya kira kalau beban bunganya terlalu besar, ya tidak usah diambil,” kata Fahmy. 

Sebagai upaya mencari jalan lain untuk meningkatkan pembiayaan transisi energi, Fahmy menuturkan pemerintah harus menawarkan insentif yang menarik bagi investor energi baru terbarukan (EBT). Misalnya, melonggarkan bea masuk atau membebaskan pajak komponen yang mendukung pembangunan infrastruktur EBT. 

“Investor ini kan berpikir profit. Jadi ya harus ada jaminan itu,” ucapnya. 

Dia yakin industri EBT di Indonesia merupakan sektor yang menarik bagi para pemodal. Musababnya, Indonesia memiliki market pengguna energi yang besar lantaran jumlah penduduknya mencapai 270 juta jiwa. “Size pasar itu besar dan menarik investor. Hanya, investment expentidure dan operasional expenditure belum mencapai keekonomian kalau untuk saat ini,” ucap Fahmy. 

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »