PARADIGMA pembangunan manusia (human development paradigm) menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan dan bertujuan menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyat menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan, dan kreatif (Mahbub Ul-Haq dalam UNDP, 1992).
Lebih jauh, Amartya Sen (1999), peletak landasan konseptual pembangunan manusia, mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, kebebasan, baik kebebasan positif maupun kebebasan negatif, tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya.
Bebas untuk hidup sehat dan sejahtera, mengenyam pendidikan berkualitas, mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat, menjalankan ibadah sesuai keyakinan, serta bebas memilih dan dipilih dalam kontestasi elektoral merupakan sedikit contoh dari kebebasan positif. Sementara itu, kebebasan negatif dapat mewujud dalam kondisi bebas dari rasa takut, rasialisme, kelaparan, kemiskinan dan ketimpangan, oligarki dan korupsi, otoritarianisme, serta berbagai ketidakadilan lainnya.
Pembangunan manusia bertumpu pada rasionalitas substantif yang menembus perkara pokok pembangunan (core issues of development). Pada gilirannya, mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan, dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat kecil.
Guna menyederhanakan konsep besar pembangunan manusia dan memastikan aplikabilitasnya sebagai panduan, sasaran, dan instrumen pemantauan serta evaluasi pembangunan, diformulasikan indeks pembangunan manusia (IPM). Menurut UNDP (United Nations Development Programme/Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa), IPM dibentuk atas tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living).
Selama lima tahun terakhir, spirit pembangunan manusia menjadi panglima dalam membangun Ibu Kota yang diterjemahkan ke dalam pilihan kebijakan dan intervensi program dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menginisiasi gerakan kolaborasi.
Gerakan kolaborasi yang dikemas dalam platform kolaborasi sosial berskala besar (KSBB) mempertemukan berbagai pemilik sumber daya dan kebutuhan warga. KSBB hadir di seluruh wilayah DKI Jakarta dan mencakup berbagai sektor, yaitu pangan, UMKM, pendidikan, permukiman, persampahan, dan ketenagakerjaan dengan ratusan kolaborator dari berbagai unsur nonpemerintah dengan lebih dari 100 ribu keluarga penerima manfaat.
Spirit pembangunan manusia melalui kolaborasi tidak berhenti di Ibu Kota, tetapi merambah ke daerah-daerah lain, seperti kolaborasi dengan para petani di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menjalin kerja sama dengan peternak sapi di NTT untuk pengadaan sapi berkualitas bagi Jakarta. Hal itu menguntungkan DKI Jakarta dan daerah-daerah mitra serta meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan petani atau peternak yang pada umumnya merupakan masyarakat lapisan bawah. Jika dilaksanakan dalam skala yang lebih luas, skema kolaborasi tersebut akan membantu mengurangi ketergantungan impor pangan yang pada gilirannya berkontribusi terhadap kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Stimulus pembangunan manusia juga mewarnai skema perlindungan sosial dengan memberikan perhatian khusus kepada kelompok masyarakat paling rentan yang selama ini terpinggirkan, termasuk warga lanjut usia (lansia), penyandang disabilitas, perempuan, dan anak-anak. Warga DKI Jakarta yang berusia 60 tahun ke atas, misalnya, memperoleh bantuan program kartu lansia Jakarta (KLJ) senilai Rp600 ribu setiap bulan, sementara para penyandang disabilitas menerima kartu penyandang disabilitas Jakarta (KPDJ) dengan dana bantuan sebesar Rp300 ribu per orang setiap bulan. Selain itu, mereka menerima berbagai bentuk subsidi kebutuhan pokok, dukungan kegiatan pemberdayaan, dan kemudahan dalam menggunakan fasilitas publik seperti gratis naik Trans-Jakarta.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur fisik dijadikan faktor pendukung untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pembangunan manusia. Melalui paket kebijakan yang didasari dan berorientasi pada pembangunan manusia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas pro-poor dan ramah lingkungan dengan mengutamakan prinsip keadilan.
Hal itu tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap peran penting modal dalam membangun Ibu Kota, tetapi lebih diarahkan untuk memastikan tidak terjadinya ketidakadilan. Yang dihindari ialah kegiatan ekonomi yang merugikan kepentingan rakyat banyak serta mengabaikan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Sebagai contoh, proyek reklamasi, 13 dari 17 pulau di Teluk Jakarta, dihentikan karena berpotensi mematikan sumber kehidupan nelayan yang notabene rakyat kecil dan mengancam keselamatan lingkungan (sumber data: BPS).
Secara agregat, seperti terlihat pada grafik, dampak positif kebijakan dan kegiatan pembangunan yang bertumpu pada pembangunan manusia terekam dalam tingginya skor IPM DKI Jakarta yang terus meningkat, bahkan di saat krisis akibat pandemi. Pada 2021, skor IPM DKI Jakarta mencapai 81,11 yang menjadikannya sebagai provinsi dengan status pembangunan manusia paling tinggi di Indonesia (BPS, 2022). Dengan skor IPM yang sangat tinggi, yakni di atas 80, kondisi pembangunan manusia DKI Jakarta sejajar dengan negara-negara maju.
Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta terus berkurang sebelum pandemi. Sesuai data BPS, proporsi penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 hanya 3,42%, angka terendah sejak 2012 dan jauh di bawah angka kemiskinan nasional. Artinya, tingkat kesejahteraan warga DKI Jakarta tidak saja lebih tinggi dari daerah-daerah lainnya, tetapi juga menunjukkan kondisi yang semakin baik selama satu dekade terakhir.
Lebih jauh, tingkat pembangunan manusia yang tinggi di DKI Jakarta tumbuh secara paralel dengan kualitas demokrasi. Menurut catatan BPS, indeks demokrasi DKI Jakarta pada 2020 mencapai skor 89,21, itu jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66. Dalam hal ini, DKI Jakarta menunjukkan kompatibilitas (kebersesuaian) antara pembangunan manusia dan demokrasi. Keduanya tumbuh dan berkembang seiring sejalan, tidak saling menegasikan, tetapi saling menguatkan.
Pembangunan manusia dan demokrasi ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, sebagaimana dijelaskan UNDP dalam laporan Pembangunan Manusia 2002 bertema Deepening democracy in a fragmented world bahwa demokrasi merupakan tujuan penting pembangunan manusia, bukan saja sarana untuk mencapainya. Landasan prinsipiel keduanya merupakan kebebasan, baik ‘kebebasan positif’ maupun ‘kebebasan negatif’.
Dari catatan di atas, terlihat bahwa kemajuan Ibu Kota tidak saja terletak pada kemegahan dan keindahan fisik, tetapi lebih pada kualitas pembangunan manusia dan demokrasi disertai kesejahteraan rakyat dan kohesi sosial yang terus meningkat. Di balik kemegahan infrastruktur seperti Jakarta International Stadium (JIS), transportasi modern dan murah, taman-taman kota, jembatan penyeberangan orang (JPO), halte, trotoar yang nyaman dan ramah bagi seluruh lapisan masyarakat, terselip semangat pembangunan manusia yang memihak dan memberdayakan rakyat kecil serta menghadirkan kesetaraan dan persatuan di antara semua warga Ibu Kota.
Kendati mencapai kemajuan pembangunan manusia yang impresif disertai kemegahan fisik, DKI Jakarta menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan, terutama terkait kesenjangan spasial antara Kabupaten Kepulauan Seribu dan lima kota administrasi (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara), di berbagai sektor termasuk kesehatan, pendidikan dan tingkat pengeluaran yang menjadi dimensi pokok pembentuk IPM. Selain tingkat kemiskinan yang mencapai dua digit, IPM Kabupaten Kepulauan Seribu masih berada di bawah rerata skor IPM DKI Jakarta yang sudah sangat tinggi. Pada 2020, skor IPM Kabupaten Kepulauan Seribu hanya mencapai 71,63 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2022).
Untuk menekan ketimpangan spasial tersebut, dibutuhkan perhatian khusus terhadap Kabupaten Kepulauan Seribu yang tertinggal cukup jauh di berbagai sektor. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan kajian mendalam terkait kesenjangan dan tantangan pembangunan manusia di Kabupaten Kepulauan Seribu diikuti kebijakan dan strategi afirmatif dengan mengembangkan skema intervensi spesifik serta skenario pembiayaan inovatif dan inklusif yang melibatkan berbagai unsur nonpemerintah.
Recent Comments