SETELAH sempat melandai, kasus covid-19 di Indonesia melonjak lagi. Berdasarkan laporan Satgas Penanganan Covid-19, pada Jumat (29/7) ada total tambahan kasus positif sebanyak 5.831 orang. Dari angka itu, DKI Jakarta dan Jabar menjadi penyumbang terbanyak, yakni 2.987 orang dan 1.095 orang. Padahal, Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunus Miko Wahyono pernah bilang, Jakarta aman dari covid-19 jika kasus harian di bawah 100 selama satu pekan. Itu artinya, Jakarta khususnya, sedang tidak baik-baik saja.
Lalu, kapan dong kelarnya ini pandemi? Sabar bos, kalem. Virus korona itu bukan seperti tentara Rusia yang dengan mudah bisa manut oleh perintah Vladimir Putin. Ia terus-menerus bergerilya, bermutasi, dan bisa jadi mesin pembunuh jika pertahanan tubuh kita lemah. Lebih dari dua tahun setelah WHO menyatakan wabah covid-19 sebagai pandemi dan lebih dari 18 bulan setelah vaksinasi covid-19 pertama kali didistribusikan secara luas, tampaknya sejauh ini memang belum ada titik terang kapan krisis ini akan berakhir. Bukan cuma di Indonesia, melainkan juga belahan dunia lainnya.
Jika berkaca dari wabah sebelumnya, seperti flu babi atau HIV/AIDS yang dulu sangat menghebohkan itu, sepertinya pandemi covid-19 ini memang tidak akan betul-betul berakhir. Paling banter hanya jadi endemi. Virusnya tidak hilang, tetapi tingkat kasus tidak lagi mengakibatkan krisis medis yang merepotkan. Seperti saat WHO mengumumkan flu babi sebagai endemi pada Agustus 2010. Pernyataan itu tidak menandai akhir dari kasus tersebut. Sebaliknya, mereka menjelaskan bahwa kasus dan wabah masih diperkirakan akan terjadi, tetapi mengikuti pola flu musiman yang normal.
Pertanyaannya ialah pola normal yang seperti apa dan bagaimana kemampuan suatu wilayah/negara mengelola situasi tersebut? Apalagi penyakit bukan cuma covid-19. Ada malaria, Tb, kolera, demam berdarah, dan sebagainya yang masih bergentayangan di muka bumi. Sejauh mana ketahanan suatu negara mengatasi persoalan-persoalan itu sehingga tidak menimbulkan, bukan cuma krisis kesehatan, melainkan juga ekonomi maupun politik. Negara-negara maju mungkin bisa mengendalikan HIV/AIDS meski tidak dapat memberantas virusnya 100%. Namun, bagaimana dengan negara-negara miskin di Afrika. Belum lagi mereka masih harus menghadapi wabah ebola, cacar monyet, atau kolera, misalnya.
Pandemi atau endemi bukanlah serangkaian peristiwa biologis terpisah yang hanya bakal jadi bagian sejarah setelah penyakitnya purna. Mereka juga telah memicu krisis moral, menguji batas kohesi sosial, dan kepercayaan. Itu sebabnya suatu negara kini tidak bisa membiarkan negara lainnya telantar dalam kubangan krisis kesehatan berkepanjangan. Itu mengapa distribusi vaksin juga harus merata. Begitu pun dengan pembangunan infrastruktur kesehatan dan sanitasi, tidak boleh lagi diabaikan. Ia harus jadi prioritas utama sebagai salah satu pilar untuk menopang ketahanan dari terpaan krisis.
Ketimbang menunggu kapan covid-19 berakhir, pandemi itu sebaiknya dijadikan bahan diskusi tentang pelajaran apa yang bisa dipetik dari wabah ini dan langkah apa yang bisa dan harus dilakukan di masa depan. Dua tahun lebih wabah itu secara gamblang telah menunjukkan dampaknya yang ganas. Alangkah naif jika kita tidak bisa belajar sedikit pun darinya. Para ahli medis, misalnya, mungkin memperdebatkan berapa tingkat infeksi yang dapat diterima/ditoleransi. Para politikus memperdebatkan implikasi dari pencabutan pembatasan sosial. Kita, masyarakat awam, paling-paling hanya bisa berdiskusi dengan kerabat, teman, atau tetangga, tentang cara terbaik untuk bertahan hidup. Enggak usah jauh-jauh mikir kapan wabah ini akan berakhir. Yang penting sabar, ikhtiar, dan tetap menjalani pola hidup sehat. Moga-moga saja dengan begitu kita semua bisa selamat. Amin ya rabbal alamin.
Recent Comments