Predator Masuk Sekolah


ANAK terlindungi, Indonesia maju, demikian tema Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini yang akan diperingati pada Sabtu (23/7). HAN menjadi momentum penting untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam menjamin pemenuhan hak-hak anak. Semua anak Indonesia memiliki hak yang sama untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Anak Indonesia juga berhak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Meski pada awalnya tema dimaksud lebih dikaitkan dengan pandemi covid-19, dalam pandangan penulis, akan terasa lebih punya gereget jika dihubungkan dengan perlindungan anak terhadap predator seksual. Belakangan dunia pendidikan dikejutkan dengan penahanan motivator kondang JE, pendiri salah satu SMA swasta di Malang, Jawa Timur, karena kasus kekerasan seksual terhadap beberapa anak didiknya. Ada juga penangkapan yang dramatis dari MSAT, tersangka pencabulan santriwati. MSAT merupakan anak pemilik pondok dan kiai ternama di Jombang.

 

Relasi kuasa

Predator seksual ialah orang yang melakukan kontak seksual dengan orang lain secara kasar. Pemangsa seksual menjalankan aksi kejahatan seks, seperti pelecehan seksual, penyerangan, pemerkosaan, dan pedofilia. Beberapa predator berusaha mengeksploitasi korban remaja, tidak sedikit merupakan pemangsa seks anak-anak. Predator jenis terakhir biasanya mencari anak di bawah umur, prapuber, didahului upaya membangun kepercayaan dengan korban sebagai bentuk perhatian khusus. Predator mengeksploitasi orang lain secara seksual tidak semata soal pemenuhan dorongan seks, tetapi juga lebih sebagai bentuk dominasi dan pengendalian.

Berbagai penelitian menyebutkan, ketimpangan relasi kuasa sering kali merupakan penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual. Hasil penelitian Pusat Pengembangan Sumber Daya untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Rifka Annisa (2018), menunjukkan ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Sekadar menyebut beberapa contoh; kekerasan seksual yang dilakukan guru terhadap siswa, ustaz terhadap santri, orangtua terhadap anak, artis dengan fan, serta atasan dengan bawahan.

Dalam Pasal 1 Permendikbud-Ristek 30/2021 dinyatakan, ‘Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan nyaman’. Meski permen itu berlaku untuk perguruan tinggi, rohnya dapat diembuskan pada satuan pendidikan yang lebih rendah.

 

Kenali tanda

Pelecehan seksual umumnya terjadi secara bertahap. Jarang yang langsung ke level berat. Diawali dengan candaan yang ‘menjurus’. Pegang-pegang bagian tubuh yang sensitif sampai pemaksaan hubungan badan. Siswa perlu memiliki kesadaran diri sebagai semacam alarm yang dapat mengenali secara dini jika ada tanda-tanda yang mengarah pada upaya pelecehen. Diharapkan mereka cukup memiliki kepekaan akan hadirnya ‘bahaya’ yang mengancam.

Utari (2021) menyebut beberapa ciri predator seksual. Pertama, bersikap manis di awal hubungan dan dekat dengan anak-anak. Manakala predator sudah menentukan korban, mereka akan memberikan perhatian khusus, bersikap manis, bahkan mungkin terlalu manis, untuk membangun kedekatan dan kepercayaan. Rasa hormat, kedekatan, dan penghargaan dari korban itu kemudian dimanipulasi untuk mendapatkan keuntungan dan kepuasan seksual. Acap kali korban terlambat menyadari pergeseran sikap pelaku. Korban masih saja merasa, pelecehan verbal dan fisik yang dilakukan predator ialah ekspresi kasih sayang spesial yang diberikan kepadanya.

Kedua, memanipulasi korban. Siswa harus memiliki kewaspadaan lebih kepada predator seks. Mereka itu dapat menunjukkan sikap manipulatif. Mungkin menggunakan akal bulus untuk memanipulasi korbannya dengan menyalahkan sikap, penampilan, pakaian, atau perilaku korban. Seperti yang dilakukan predator F di Banyuwangi– mantan anggota DPRD Jawa Timur–dengan dalih banyak remaja yang tidak benar pergaulannya, perlu dilakukan tes keperawanan kepada santri. Karena percaya dengan ustaznya, pelecehan itu kemudian terjadi. Saat diminta mempertanggungjawabkan atas perilakunya, predator justru memutarbalikkan fakta dan membuat korban merasa bersalah.

Ketiga, melewati batas sentuhan fisik dan seksual. Kejahatan seksual yang dilakukan predator dimulai dengan melewati batas-batas kewajaran dalam sentuhan fisik. Dimulai dengan mengelus kepala, menyentuh bagian punggung, atau tangan korban. Seiring dengan berjalannya waktu, predator akan mulai menyentuh bagian tubuh lain, seperti payudara, paha, dan daerah sekitar kelamin, tanpa persetujuan korban. Mereka dapat menggunakan teknik manipulasi untuk memaksa korban melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya. Biasanya disertai dengan ancaman.

Keempat, ingin mendominasi dan mengawasi korban. Dalam beberapa kasus, predator seks menunjukkan rasa cemburu dan ingin mendominasi kehidupan korban. Mereka cenderung memperhatikan aktivitas korban di media sosial dan dalam hidup kesehariannya. Jika kecenderungan itu dibiarkan, predator seks akan mencoba mendominasi dan mengawasi hidup korban secara lebih dalam. Mereka yang dicap sebagai predator seks cenderung terlihat pintar, bertalenta, dan karismatik. Orang-orang yang kenal baik dengannya sekalipun tidak menyangka, para predator seks itu tega mengeksploitasi orang lain secara seksual.

 

Budaya diam

Secara kultural, budaya diam memperparah fenomena kekerasan seksual di sekolah. Kecenderungan korban yang lebih banyak diam, mungkin karena malu atau takut, menyebabkan pelaku semakin berani melangkah ke tahap yang lebih berat. Dalam budaya diam, mereka yang berani secara terbuka mengemukakan pendapat sering dianggap cerewet. Siswa yang tenang, tidak banyak bicara, dianggap lebih berkelas. Diam ialah emas. Kecenderungan demikian tentu menyulitkan ‘korban’ pelecehan untuk speak up. Kiranya diperlukan latihan asertif bagi siswa agar dapat membantu mereka mampu berperilaku asertif. Perilaku asertif ialah perilaku antarpribadi atau interpersonal yang menonjolkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan.

Tujuan latihan asertif ialah meningkatkan kemampuan interpersonal siswa untuk dapat berkata tidak, membuat permintaan, mengekspresikan perasaan baik positif maupun negatif secara terbuka. Diharapkan siswa kemudian mampu menyatakan secara tegas apa yang dirasakan tanpa tekanan dari pihak lain. Ia mampu bertingkah laku secara tepat dan adaptif, meninggalkan perilaku negatif, dan tidak percaya diri. Pada akhirnya siswa memiliki harga diri yang lebih tinggi serta memperoleh imbalan sosial memadai sehingga mereka mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya. Kini, saatnya siswa sejak dini harus berani mengatakan ‘tidak’ kepada predator.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »