Tiga Penanda Hubungan Toksik


BELAKANGAN ini kata-kata “hubungan toksik” makin sering terdengar. Secara literasi, mengartikan kata-kata itu memang tidak sulit, yakni sebagai hubungan yang beracun atau hubungan yang merusak atau menyakiti orang yang menjalankannya.

 

Meski begitu, mengenali hubungan yang toksik, tidaklah mudah. Orang yang sedang dimabuk cinta pun kerap tidak sadar telah disakiti atau dimanfaatkan oleh pasangan yang toksik.

 

Penelitian yang dipimpin psikolog pemegang gelar dari Cornell University dan University of Colorado Boulder, Amerika Serikat (AS), Mark Travers, Ph.D., mengungkapkan beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa sebuah hubungan akan menjurus menjadi toksik. Berikut seperti dikutip dari psychologytoday.com, Kamis (14/5).

 

1. Pengorbanan yang Tidak Proporsional

Pengorbanan memang salah satu bentuk dari mencintai. Namun penelitian menunjukkan bahwa pengorbanan yang tidak proporsional akan berdampak tidak baik.

 

Pengorbanan yang tidak proporsional dapat berarti hanya dilakukan oleh salah satu orang, bukan timbal balik. Selain itu, pengorbanan yang tidak seimbang dapat berarti dilakukan terlalu cepat (sejak awal hubungan) dan sampai mengorbankan preferensi atau tujuan hidup salah seorang pasangan.

 

Pengorbanan yang seperti ini dikatakan akan membuat orang yang melakukannya menjadi tidak bahagia dan tidak sejahtera. Di sisi lain, pasangan lainnya sebenarnya juga mengalami emosi yang campur aduk. Meski merasa dicintai namun mereka juga memiliki perasaan bersalah dan hutang budi. Perasaan yang seperti ini akan membuat hubungan kurang sehat.

 

2. Sulit Untuk Jujur

 

Terkadang orang yang kita cintai mungkin berperilaku dengan cara yang tidak etis dan/atau hingga berpotensi membahayakan.  Situasi ini mengharuskan kita untuk benar-benar jujur ​​dengan pasangan dan diri kita sendiri tetapi mungkin saja kita gagal melakukannya karena kita mencintai mereka.

 

 “Ketika seseorang yang dekat dengan kita berperilaku tidak etis, kita menghadapi konflik antara menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan mempertahankan hubungan kita,” jelas psikolog Rachel Forbes dari University of Toronto di Kanada.

 

Penelitian Forbes menemukan bahwa orang sering mengalami ambivalensi yang mendalam ketika menanggapi tindakan tidak etis orang penting lainnya. Ini mungkin karena kecenderungan orang untuk berbagi rasa identitas dengan orang yang mereka cintai.

 

3. Hubungan Dibangun karena Kebutuhan (Utilitas)

Kita biasanya memilih untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan seseorang jika kita jatuh cinta dengan orang tersebut.  Namun, dalam lebih banyak kasus, ada pertimbangan lain seperti status keluarga mereka, kemampuan pasangan dalam mewujudkan tujuan kita, tunjangan finansial, dan hal-hal lain yang dikategorikan azas manfaat atau utilitas.

 

Meskipun menganggap seseorang sebagai sumber daya tidak sepenuhnya salah, itu bisa menjadi masalah ketika digunakan untuk fondasi hubungan.  Psikolog Xijing Wang menyebut pendekatan ini sebagai “perspektif instrumentalitas,” yang merupakan dimensi objektifikasi, yaitu memandang seseorang sebagai objek. 

 

Di bawah perspektif instrumentalitas, orang direndahkan sebagai alat murni yang berfungsi untuk memfasilitasi pencapaian tujuan orang lain.  Intinya, begitu kita mengambil pendekatan instrumental, kita hanya peduli tentang bagaimana menggunakannya.

 

Jika anda merasa bahwa pasangan hanya menggunakan azas manfaat, hal pertama yang harus diingat adalah itu bukan kesalahan anda. Namun, Anda tidak boleh membiarkan kondisi itu terus terjadi.  Anda harus berani menegakkan martabat diri dan kebahagiaan sejati. Lebih baik anda jujur pada diri sendiri dan meninggalkan hubungan yang toksik. (M-1)






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »