Nasionalisme Kemanusiaan Jokowi di Ukraina dan Rusia


SEUSAI kunjungannya ke Jerman menghadiri pertemuan G-7, Jokowi melanjutkan perjalanannya ke Ukraina dan Rusia. Perjalanan antara hidup dan mati. Betapa tidak, tempat yang dikunjungi itu masih menjadi palagan dua seteru: Rusia dan Ukraina. Jokowi bertemu empat mata dengan Presiden Ukraina Zelensky dan Presiden Rusia Putin. Kepada kedua pemimpin itu Jokowi menyampaikan pesan perdamaian: hentikan perang. Bagaimana memaknai kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia dalam perspektif ideologi, diplomasi, dan politik luar negeri?

 

Pancasila

Ideologi, secara awam dipahami sebagai rangkuman sistem nilai yang dipercaya oleh suatu bangsa dalam menilai, memaknai, dan bertindak. Ia sebagai pedoman, bintang penuntun dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seturut dengan ini, dalam menilai dan bertindak terhadap dinamika internasional suatu bangsa berpedoman pada sabda ideologinya, tak terkecuali bangsa Indonesia.

Dalam menetapkan kebijakan luar negeri, para pemimpin sudah pasti menjadikan nilai yang terkandung dalam ideologi negara sebagai pedoman moral dalam memilih tindakan diplomatiknya. Tersebab ideologi jugalah, Jokowi berani menembus zona perang di Ukraina untuk membawa pesan perdamaian. Sudah tentu, ideologi yang menjadi inspirasi Jokowi melakukan misi berbahaya itu ialah Pancasila.

Pancasila, pertama kali diperkenalkan di forum dunia oleh Bung Karno. Dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB, 30 September 1960, Bung Karno menguraikan 5 prinsip Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia. Yang menjadi istimewa dalam catatan sejarah ialah momentum ketika Bung Karno memperkenalkan Pancasila. Tatkala dunia dalam belenggu rivalitas dua ideologi besar, liberalis-kapitalisme dan sosialis-komunisme, Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai nilai yang mendamaikan dan menyatukan.

Banyak pihak menilai, dalam pergulatan ideologi dunia kala itu, Pancasila ialah jalan tengah. Sejatinya tidak. Pancasila bukan jalan tengah, tetapi ‘jalan ketiga’ yang memuat nilai-nilai pemersatu terhadap dua ideologi yang berseteru. Nilai pemersatu ini sangat kasat mata dalam peri kehidupan bangsa Indonesia. Jika Indonesia tetap utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), itu tiada lain penyebabnya: karena bangsa Indonesia committed terhadap Pancasila sebagai ideologi negara.

Watak pemersatu dalam Pancasila itulah sebenarnya ruh nasionalisme Indonesia. Meski beragam suku, etnik dan agama, Indonesia tetap utuh bersatu dalam satu negara. Dalam perspektif ideologis, Pancasila itu ialah manifestasi nasionalisme Indonesia. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, secara eksplisit dimaktubkan dalam Pancasila. Sila ini mengandung nilai nasionalisme. Bagaimana aktualisasi nilai nasionalisme ini dalam laku diplomasi Indonesia?

Dalam wacana nasionalisme Indonesia, dikenal konsep nasionalisme Bung Karno: sosio-nasionalisme (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, 2015). Memang, embrio nasionalisme Bung Karno berurat akar pada antikolonialisme. Namun, itu tidak berarti Indonesia menarik diri dari pergaulan internasional. Nasionalisme dan internasionalisme bagai 2 sisi mata uang: saling menguatkan, saling mengisi.

Terkait relasi nasionalisme dan internasionalisme ini, dengan apik dilukiskan Bung Karno: nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme. Dalam dimensi praksis, ini artinya nasionalisme Indonesia diletakkan dalam bingkai ‘sosial kemanusiaan’. Maka, dikenallah ia dengan istilah ‘sosio-nasionalisme’: nasionalisme berdimensi kemanusiaan, sebuah kewajiban moral seperti dititahkan sila kedua dan ketiga Pancasila.

 

Nasionalisme kemanusiaan

Jokowi berkunjung ke Ukraina dan Rusia membawa panji nasionalisme berdimensi kemanusiaan ini. Jokowi setidaknya membawa dua misi penting. Pertama, memulihkan rantai pasok pangan dunia, dan kedua, mengimbau pihak yang berkonflik untuk menghentikan perang. Rantai pasok pangan dunia mengalami disrupsi akibat diblokadenya jalur transportasi laut di Laut Hitam oleh Rusia. Akibatnya, harga pangan dunia naik dan terjadi inflasi.

Para elite berperang demi kekuasaan dan kepentingan. Namun, di mana pun perang terjadi, pada akhirnya rakyat jua yang menderita tak terperi. Di sini nurani kemanusiaan terusik. Blokade transportasi laut mengakibatkan krisis pangan dunia mengintai. Akibat lanjutannya ialah kelaparan. Lagi di sini nurani kemanusiaan diuji.

Inisiatif Jokowi bertemu Zelensky dan Putin boleh jadi diniatkan untuk perdamaian. Namun, diplomasi dan perdamaian, bukan barang sekali tepuk jadi. Kadang membutuhkan bilangan tahun. Untuk berdamai pertama-tama memang perlu komunikasi dan dialog. Dengan pertemuannya dengan kedua pemimpin tersebut, setidaknya Jokowi sudah membuka pintu dialog itu.

Meski harus menembus zona perang yang berisiko, Jokowi sudah menunjukkan keberanian dan ketulusan demi perdamaian. Keberanian muncul karena didorong oleh nasionalisme: membawa nama baik bangsa Indonesia di dunia. Ketulusan memancar dari rasa kemanusiaan: menghentikan perang dan krisis pangan. Alhasil, tatkala Jokowi menemui Zelensky dan Putin, dunia menyaksikan bahwa ia telah melakukan diplomasi perdamaian dengan semangat nasionalisme kemanusiaan. Sebuah inisiatif awal yang dapat meretas jalan perdamaian selanjutnya.

 






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »