Usaha Rintisan, Belajar Dari Sebuah Karya Seni


SUDAH hampir sebulan terakhir berita tentang start up (perusahaan rintisan) yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan, menutup beberapa wilayah operasionalnya, dan bahkan mengumumkan pemberhentian operasi usahanya terus mewarnai halaman media.

Ada Fabelio, perusahaan rintisan di bidang mebel, Zenius dan Pahamify yang menjaring peluang bisnis di bidang pendidikan berbasis teknologi, JD.ID yang menjalankan bisnis belanja daring (e-commerce) hingga Tani Hub, salah satu usaha pembuka jalan petani bertemu konsumen melalui teknologi. Jumlah perusahaan rintisan yang gulung tikar ini kemungkinan dapat terus bertambah karena kondisi ekonomi yang masih belum stabil setelah pandemi dan kondisi lain yang turut berpengaruh. 

Peristiwa gulung tikar, bangkrut, pada banyak perusahaan rintisan asli Indonesia maupun yang masuk ke Indonesia, tak mengherankan dapat terjadi. Dengan melihat kelahiran dan tumbuh kembang mereka yang berfase instan, kerapuhan nyata seperti terbungkus kecepatan gerak berbisnis mereka. Hanya dalam kurun waktu cukup singkat, 1-2 tahun untuk ukuran sebuah usaha yang baru dirintis, mereka dapat memasuki pasar dengan mudah dan menarik konsumen. 

Hal tersebut mereka lakukan melalui pendanaan investor bernilai besar dengan tujuan mendisrupsi ekonomi (pasar), agar usaha mereka menjadi pilihan utama di pasar yang dimasuki. Mereka menggenjot cara berbisnis dengan menyerang pemain pasar yang cukup kuat. Bahkan, muncul istilah baru, bakar uang di dalam cara kerja perusahaan rintisan ini. 

Berbisnis dengan cara seperti itu bernilai semu. Semu atas hakikat pengertian berbisnis itu sendiri. Menyingkirkan pemahaman bahwa setiap usaha perlu mengalami fase lahir, tumbuh kembang, matang hingga jatuh. Layaknya sebuah ekosistem kehidupan, pijakan kuat bukan berasal dari dalam usaha itu sendiri, melainkan dari eksternal, yaitu investor dan sistem pendukung lainnya. Jika kinerja berbeda dari harapan investor, tentu dengan mudah pendanaan ditarik. 

Usaha rintisan limbung, harus dengan cepat berusaha mencari investor pengganti, karena mereka tetap perlu menjalankan roda usaha. Mereka tak dapat mengandalkan kemampuan dari dalam sendiri, karena pembiayaan sudah besar jumlahnya. Sementara, proses mencari investor memerlukan waktu cukup lama, bukan dalam hitungan hari.  

Godaan teknologi juga menjadi faktor dari perusahaan rintisan berusaha mempercepat fase kehidupan usahanya, dengan menafikkan kondisi nyata yang ada di lingkungan pasar. Bertambah lagi dengan datangnya pandemi tanpa ada yang mampu memprediksinya. Hampir mirip dengan peristiwa gulung tikar start-up dotcom di 1990-an yang tergerus karena krisis moneter. Teknologi memang mempersingkat, memotong, memudahkan berbagai aktivitas usaha yang dianggap berbiaya besar, memakan waktu dan cara usang. 

Teknologi menjadi jawaban kebutuhan efisiensi dan efektivitas yang wajib dipenuhi oleh semua bisnis pada umumnya. Namun, bijak penggunaan teknologi masih perlu ditelaah untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan dan penggunaannya dalam setiap usaha. Perlu sangat disadari oleh pelaku usaha rintisan, dunia usaha memang berkembang modern, tetapi membangun dan menjalankan usaha dengan cara manual, kovensional pun bukan menjadi hal tabu. 

Teringat pada tulisan indah dari Joan Magretta (2019), seorang ahli manajemen, pemenang kontributor untuk Harvard Business Review, yang menerangkan inti dari sebuah model bisnis. Model bisnis, alaminya adalah sebuah cerita tentang bagaimana usaha itu diciptakan dan dijalankan. Artinya, perintis usaha menulis cerita tentang usaha yang dicitakannya melalui model bisnis yang solid. 

Mengambil benang merah dari istilah kanvas model bisnis yang diperkenalkan oleh Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2010), kanvas yang umumnya digunakan oleh para ahli seni menuangkan ide abstrak di kepala menjadi karya indah yang nyata. Itu sebabnya membangun usaha sejatinya adalah menuangkan cerita usaha dalam bentuk nyata dengan keindahan seni di dalamnya. 

Apakah seni bersifat instan? Lihat saja lukisan-lukisan indah karya pelukis terkenal. Lukisan dibuat memerlukan waktu lama, bahkan tahunan, untuk dapat dinikmati publik. Tak ada yang salah dengan waktu lama, bila memang tercipta untuk kemudian berlanjut dan bertahan dekade hingga berabad lamanya. Begitupun dengan mencipta dan mewujud-nyatakan sebuah usaha. 

Membangun usaha dapat dimaknai sebagai sebuah kerja seni. Mendirikan usaha memerlukan sentuhan nalar dan rasa yang bernilai untuk tujuan besar yang indah yaitu menyelesaikan permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Dengan nalar dan rasa yang menjadi pijakan, dan tujuan yang mengarahkan, maka usaha mulai bergerak tumbuh. 

Usaha tumbuh, membangun ekosistem usahanya dengan mengikuti fase kehidupan usaha melalui berbagai hasil inovasi yang diterima pasar. Sepertinya dream big, start small, act fast, pegangan berwirausaha dari pendiri Martha Tilaar Grup adalah acuan yang tepat untuk menciptakan usaha yang berhasil sejalan dengan fase kehidupan dalam ekosistemnya. 






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »