Senandung Revolusi Ismail Marzuki


DALAM perjalanan dari Jakarta menuju Solo, sebuah kereta berhenti di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Seorang pria bernama Ismail Marzuki terkesima melihat sosok-sosok pejuang menuju garis depan pertempuran. Ia melihat semangat tempur bekorbar di mata mereka. 

 

Ismail pun terkenang mata Eulis Andjung Zuraidah, istrinya yang ditinggalkannya di Jakarta. Dari situlah lagu Sepasang Mata Bola tercipta. 

 

Kisah itu adalah penggalan yang tersaji dalam pentas monolog Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi. Pentas monolog ini berlangsung di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rabu-Kamis, 29-30 Juni pukul 20.00 WIB dengan penonton terbatas. 

 

Pentas monolog ini merupakan rangkaian dari pementasan Di Tepi Sejarah yang menampilkan kisah lima tokoh terpilih, termasuk Ismail.


 

Ismail sendiri memang tidak pernah memanggul bedil, apalagi terlibat perang fisik melawan penjajah. Namun sejak belia, ia menggunakan musik sebagai jalan untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjalanan ke Solo, bersama sahabatnya Yusuf Ronodipuro, itu pun untuk merayakan ulang tahun RRI pertama.

 

Dalam pentas yang diperankan Lukman Sardi itu juga menceritakan kehidupan Ismail, yang pada usianya yang ke-17 menciptakan lagu O Sarinah, dalam mengajak para perempuan desa untuk giat bekerja di sawah agar dapat membangun negara. 

 

“Pementasan ini tidak dimaksudkan menjadi pertunjukan biografis Ismail Marzuki, melainkan sebagai upaya kreatif dalam merekonstruksi ingatan, kenangan, nostalgia, dan semangat perjuangan hidup dalam lagu-lagu itu”, ujar penulis naskah Putu Fajar Arcana, dalam siaran pers yang diterima Media Indonesia, (29/6).

 

Seniman kelahiran Kwitang, Jakarta, itu seolah tidak mengenal masa surut dalam mencipta lagu. Sejumlah lagu ciptaannya yang populer seperti Rayuan Pulau Kelapa, Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Indonesia Pusaka, dan Sepasang Mata Bola, ikut menjadi penyemangat para pejuang di garis depan. Bersama kelompoknya, Ismail juga kerap menghibur para pejuang di tempat-tempat persembunyian mereka.

 

Sampai meninggal pada 25 Mei 1958 di usia 44 tahun, Ismail menciptakan lebih dari 200 lagu. Bersama rombongan musiknya, termasuk sang istri sebagai penyanyi, Ismail pernah melawat ke Singapura dan Malaya. Di sana, ia disambut bak bintang, karena lagu-lagunya terutama yang dinyanyikan dalam film Terang Boelan (1938), sangat dikenal di negeri jiran itu.

 

Lukman Sardi, yang memerankan sosok Ismail Marzuki menyatakan kegembiraannya bisa memerankan tokoh musik tersebut. Sebab ia merasa seperti diminta oleh ayahnya, Idris Sardi yang merupakan pemain biola, untuk bermain biola lagi.

 

“Ismail Marzuki adalah komponis dan pemusik yang tak tergantikan. Ia sosok yang menyampaikan nilai-nilai perjuangan, imajinasi dan harapan tentang Indonesia dari sisi yang berbeda. Keindahan lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki seperti puisi yang melampaui zaman. Lirik dan melodi dalam berbagai nuansa musik melayu, jazz dan keroncong begitu lembut namun menyiratkan banyak cinta dan kasih sayang kepada negeri ini. Bagi saya, Ismail Marzuki itu nasionalis romantik,” kata Lukman.

 

Selain kisah Ismail, empat tokoh lainnya yang kisahnya dipentaskan adalah Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Chepas, Gombloh, dan Emiria Soenassa. Pemilihan tokoh-tokoh sejarah pada musim kedua pementasan Di Tepi Sejarah ini diharapkan dapat memberikan perspektif lain dalam memaknai nasionalisme, khususnya bagi generasi muda. 

 

Naskah Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi  disutradarai Agus Noor dan ditulis Putu Fajar Arcana bersama Agus. Diproduksi Titimangsa dan KawanKawan Media yang bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek. Nantinya, pementasan juga akan ditayangkan secara daring di saluran Kemendikbudristek RI di kanal Youtube Budaya Saya dan di saluran televisi Indonesiana TV pada Agustus 2022.

 

“Serial monolog Di Tepi Sejarah merupakan salah satu upaya melawan hoaks, karena memberikan ruang kepada kita untuk menyerap dan memahami berbagai peristiwa sehingga nalar kita pun terasah. Kisah-kisah ini merupakan interpretasi terhadap sejarah itu sendiri, inginnya juga mampu membuka ruang diskusi,” ujar produser Di Tepi Sejarah, Happy Salma. (M-1)






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »