Sajak-sajak Yevgeny Yevtushenko


Yevgeny Yevtushenko (1932-2017). 

Malam Putih di Arkhangelsk 

Malam putih—mungkin malam pekat… 

saat seberkas cahaya aneh mengganggumu — 

mungkin matahari atau mungkin bulan. 

Mungkin sedih atau mungkin senang, 

mungkin Arkhangelsk, mungkin Marseille, 

navigator baru saja berubah haluan. 

Para pelayan berkumpul bareng, 

alis mereka tampak seperti perahu es, 

mata berbinar-binar dan bergoyang-goyang. 

Akankah para hantu memberi tahu Shalonnik 

bahwa aku harus menghapus bekas bibir mereka? 

Mungkin saja perlu dan mungkin saja tidak perlu. 

Burung camar meringkuk di tiang dan bersiul-siul — 

mungkin saja menangis atau mungkin saja tertawa. 

Di dermaga, mereka mengucapkan selamat tinggal, 

sedang para pelaut mencumbui bibir kekasih gelap: 

“Siapa namamu?” — “Tanpa nama…” 

Mungkin begitu dan mungkin begini. 

Menaiki anak tangga menuju Sekunar: 

“Aku akan membawakanmu kulit anjing laut!” 

Ya, tapi lupa dan tidak ingat di mana. 

Seorang perempuan masih berdiri diam. 

Siapa tahu—mungkin dia bakal kembali, 

mungkin tidak, namun mungkin ya. 

Sepertinya aku tak sadarkan diri di dermaga: 

camar bukan camar, ombak bukan ombak, 

dia dan dia, bukan dia dan dia: 

ini semua ialah limpahan malam putih, 

semua ini hanyalah lonjakan-lonjakan, 

mungkin insomnia, mungkin hipersomnia. 

Sekunar terus bersenandung mengucapkan selamat tinggal. 

Dia tidak lagi terlihat sedih. Dia terpisah jauh dan berlayar 

dengan senang hati mengisahkan lelucon kacangan 

mungkin menuju ke laut, mungkin ke Sekunar, 

mungkin sendiri dan mungkin bersama. 

Dia berdiri tanpa nama di pelabuhan — 

mungkin akhir atau mungkin awal — 

perempuan bermantel abu-abu muda, 

perlahan-lahan menjelma gumpalan kabut — 

mungkin Vera atau mungkin Tamara, 

mungkin Zoya atau mungkin bukan… 

1964 

Menghiruk dan Menggumam di Kereta… 

Mereka menghiruk dan menggumam di kereta, 

saling membuat keributan ke gerbong-gerbong. 

Pion-pion catur bergetar perlahan-lahan, 

sedang aku masih menulis dalam hening. 

Aku pun ingat 

ini malam pekat, 

kau terlambat datang 

mengalirkan nafas ke tubuhku.

Kau muncul tidak berjubah sukacita —

aku hampir saja enggan mengingatnya, 

namun berbekal sederetan kesetaraan, 

kebodohan tampak begitu mengerikan.

Aku datang secara wajar walau putus asa.

Berceloteh sendiri, kau begitu ceria 

meninggalkan kenangan di balik pintu 

dan memasuki kembali masa lalumu. 

Entah bagaimana kau tersenyum 

menyanyi dan menangis di suatu tempat, Zaitun

memberiku kekecewaan dengan sepotong bibirmu. 

Kau bergegas mendekat 

ke bagian terendah yang hampa, 

sebagai anak-anak, kita mencari sukacita 

dari dua sukaria, setidaknya masih tersisa satu. 

Aku masih menulis di lembaran buku hijau 

yang lama tersimpan rapih di rak. 

Zaitun, masih terasa asin 

merapal pipi sendiri. 

Bergerak menjauhkan diri dari jurang, 

seolah-olah ada sesuatu di dasarnya. 

Menepikan diri dari kaum tunawisma, 

meski aku ditakdirkan menggelandang. 

Kau berada di kereta berbeda 

lalu bergegas pindah ke gerbong lain. 

Maafkan aku, terlambat datang, 

sebab janjimu tak pernah pasti. 

Persepsiku sama seperti jet yang mendarat ke atap. 

Memiliki kenangan tentang gadis-gadis 

yang bernyanyi di gereja.

Namun, bagaimanapun aku juga ingat 

sifat kenabian telah dikirim ke setiap insan. 

Mewartakan kabar baik ke seluruh dunia 

agar tangan mendekapi tangan lainnya. 

Seniman perlu merasakan penderitaan. 

Sebanyak apapun yang dialami, membuatnya bijak. 

Tapi semua celah adakalanya semacam roh jahat  

di antara jemari-jemari perempuan dan laki-laki. 

Semua kembali kepada diri kita, 

sama seperti pribadi di abad silam. 

Tangan menjangkau satu sama lain, 

ujung-ujung jemari saling menunjuk. 

Kita berbaring di atas jurang terjal, 

di mana kebodohan tampak sama, 

tangan kita yang malang tidak akan 

pernah bisa saling bersentuhan. 

1960 

Apa Rakyat Rusia Ingin Perang? 

Apa rakyat Rusia ingin perang? 

kau bertanya pada keheningan 

hamparan tanah dan suburnya ladang, 

pohon birch dan poplar berjejeran. 

Kau bertanya kepada para tentara 

yang duduk di bawah rerindang pohon, 

biarkan putra mereka memberitahukanmu  

jika rakyat menginginkan peperangan. 

Perang bukan hanya bagi negara kita, 

banyak tentara tewas di medan pertempuan,

agar orang-orang di seluruh bumi

dapat hidup tenang dan bermimpi. 

Di bawah gemerlap lampu dan poster 

di New York kau tertidur, di Paris kau terlelap. 

Biarkan impianmu menjawab semuanya 

apa rakyat menginginkan peperangan. 

Ya, kita tahu cara bertarung,

tetapi tidak ingin para prajurit 

jatuh lagi ke dalam jeritan pertempuran

lalu ke liang lahad yang menyedihkan.

Tanyakanlah kepada ibumu,

atau kepada istriku saja, 

kau harus mengerti 

apa rakyat Rusia ingin perang.

1961 

Teman Lama 

Aku memimpikan seorang teman lama

yang telah menjadi lawan bebuyutan, 

namun di mimpiku, ia bukanlah musuh,

melainkan sahabat yang sama seperti dulu. 

Dia tidak bersamaku, namun 

ada di sekitarku sekarang, 

membuat kepalaku pusing karena mimpi.

Aku memimpikan seorang teman lama,

pengakuan dosa penuh ratapan 

di dinding dan di tangga sehingga 

iblis mematahkan kaki dan kebenciannya, 

tetapi bukan untukku, tetapi bagi mereka 

yang notabene sebagai musuh bersama 

terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu. 

Aku memimpikan seorang teman lama,

seperti cinta pertama, yang selamanya 

tidak dapat ditepiskan siapapun. 

Kami menuai berbagai risiko, 

melewati setiap pertarungan, 

dan sekarang kami bermusuhan — 

dua mantan saudara kembar. 

Aku memimpikan seorang teman lama, 

sebagaimana mimpi akan kibaran bendera 

tentara yang sedang berperang hingga berakhir buruk. 

Aku tanpanya — bukanlah aku, 

dia tanpaku — bukanlah dia, 

dan jika kita saling bermusuhan, 

zaman tidak akan pernah sama. 

Aku memimpikan seorang teman lama. 

Dia, sama sepertiku, hanya manusia bodoh. 

Siapa yang benar, siapa yang salah, 

aku tidak akan mencari tahu. 

Apa artinya seorang teman baru 

jika dia lebih baik dari musuh lama? 

Musuh bisa saja bertambah, 

tapi seorang teman — harta yang abadi… 

1973 

Yang Terbaik dari Suatu Generasi 

Yang terbaik 

    Dari generasi ke generasi,

mekar untuk kamu —

        jangan pudar!

menaklukkan kamu 

untuk masalah —

      tidak untuk melihat!

Akan ada kasus yang berbeda —

Jadilah kuat dan ramah.

Setelah semua berakhir, 

petik apa yang terbaik untukmu —

kamu harus berdiri.

Tetaplah kamu bernyanyi,

    sinar matahari berkedip-kedip,

namun akan ada masalah

             dan rasa sakitnya…

Jagalah keberanian! Berkatilah pertarungan! 

Temanilah aku menyerang — 

kamu tidak menyalahkanku untuk apa pun.

Yang terbaik 

    Dari satu generasi, 

anggap saja aku sebagai peniup sangkakala! 

atau terompet ofensif, 

aku tidak akan mengubah catatan, 

dan jika napas tersendat-sendat, 

gantilah terompet dengan senapan. 

Bahkan jika ajalku tiba 

tanpa menyelesaikan tugas, 

biarkan bibirmu hinggap di dahiku. 

1957 

 

Bacaan rujukan: 
¹ Yevgeny Yevtushenko. My most. Moscow: Publishing House of JSC/KHGS 1995. 
² Yevgeny Yevtushenko. Poems. Russia is my homeland. Library of Soviet-Russian poetry in fifty books. Moscow: Fiction, 1967. 


 

 

 

Yevgeny Yevtushenko, sastrawan Rusia, lahir di Zima, Irkutsk, Uni Soviet, 18 Juli 1932 dan wafat di Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat, 1 April 2017. Pada 1963 saat Yevtushenko berusia 30 tahun, ia dinominasikan untuk menerima Hadiah Nobel dalam Sastra. Pada 2009, Presiden Chili Michelle Bachelet menghadiahkan Yevtushenko penghargaan tertinggi untuk penyair asing, Ordo Bernardo O’Higgins. Setelah menerima hadiah tersebut, ia membacakan sebuah puisinya berjudul The Pigeon in Santiago di hadapan ribuan orang dari balkon Istana Presiden La Moneda di Santiago. Puisi-puisi di sini diterjemahkan dari bahasa Rusia ke dalam bahasa Indonesia oleh Iwan Jaconiah, penyair dan editor puisi Media Indonesia. Foto-foto: RIA Novosti/Vladimir Astapkovich. (SK-1) 

 



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »